Kamis, 05 September 2013

Diskusi Tentang Imunisasi


dari catatan Helfial Hilda pada 11 Oktober 2010

Berikut adalah beberapa tulisan yang dikutip dari beberapa diskusi tentang imunisasi, semoga bermanfaat terutama bagi teman-teman yang pernah menanyakan tentang imunisasi.


Dr. A. Jamaluddin, menulis dalam mailing list Alumni SMAN 2 Tangerang:

Bisa disimpulkan permasalahan ttg imunisasi yg perlu diklarifikasi adalah sbb:

1. Manfaat & mudhorotnya.

Dalam kedokteran (sebagaimana juga hal-hal lain dalam hidup kita) setiap tindakan medis selalu memiliki manfaat & mudhorot. Tidak ada tindakan yg 100% bebas mudhorot, tapi tindakan tsb tetap dilakukan atas pertimbangan bahwa manfaatnya melebihi mudhorotnya, atau mudhorot yg dicegah lebih besar daripada mudhorot yg ditimbulkan -kaidah yg juga berlaku dalam banyak hal.

Imunisasi juga demikian. Manfaatnya telah terbukti, penyakit-penyakit yg dulu menjadi momok sekarang sangat jarang terjadi. Imunisasi juga menjadi sangat penting terutama ketika berkaitan dg penyakit-penyakit yg menjadi masalah masyarakat, bukan sekadar masalah individu. Misalnya penyakit menular seperti campak, difteri, TBC dan polio. Seseorang yg mendapat penyakit tersebut akan menyebarkannya kepada orang-orang disekitar. Hal ini menjadi salah satu pertimbangan Pemerintah untuk mewajibkan 5 imunisasi dasar yg termasuk dalam Program Pengembangan Imunisasi (PPI), yaitu BCG, hepatitis B, DPT, polio & campak.

Ilmu kedokteran juga mengakui secara jujur bahwa tidak semua imunisasi 100% efektif, misalnya vaksin BCG untuk TBC hanya mampu mengurangi resiko tertular serta menurunkan derajat keparahannya, sehingga kejadian TBC yg parah pd anak menjadi jauh berkurang, walaupun tidak 100% bisa dicegah.

2. Halal-Haramnya Imunisasi.

Masalah halal-haram tentunya harus ditanyakan kepada ulama. Pendapat perseorangan perlu diseleksi, apalagi jika orang tersebut tidak memiliki kapasitas untuk memeberikan fatwa. MUI sendiri telah mengeluarkan fatwa halal untuk vaksin meningitis produksi Sanofi-Aventis & Novartis.

Fatwa MUI tentang vaksin polio mengakui bahwa vaksin polio telah bersinggungan dg zat-zat yg haram, namun tetap memperbolehkan dg pertimbangan darurat bahwa ada kemudhorotan besar yg perlu dicegah, serta kita tidak punya pilihan vaksin yg halal. Saya berpendapat bahwa fatwa ini bisa juga diterapkan pd vaksin lain yg memiliki kondisi serupa. Yang jelas, kita harus terus mendorong MUI & menekan pemerintah untuk membuat vaksin dengan sertifikat halal, apalagi kita sudah punya pabrik vaksin sendiri (PT.Biofarma). Kita ketinggalan jauh dg Malaysia yg sudah lama memproduksi sendiri vaksin bersertifikat halal.

3. Teori Konspirasi.

Saya mengajak teman-teman untuk lebih percaya kepada fatwa ulama & penelitian ilmiah yg sahih daripada teori konspirasi yang menuduh imunisasi sebagai strategi penghancuran umat Islam, karena teori konspirasi seringkali didasari sikap paranoid dan bukti lemah yg dipaksakan.

Teman-teman yg mendukung imunisasi pun sebaiknya tidak bersikap paranoid kepada teman-teman yg menolak, misalnya dg menyatakan bahwa ajakan menolak imunisasi merupakan konspirasi musuh Islam untuk melemahkan anak-anak Islam. Sekali lagi, marilah mengacu kepada ulama & penelitian ilmiah yg sahih.



Majalah Al Furqan, Edisi 05 Th. ke – 8 1429 H/2008 M, oleh : Al Ustadz Abu Ubaidah Yusuf bin Mukhtar as-Sidawi :

Tentang Imunisasi
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), imunisasi diartikan “pengebalan” (terhadap penyakit). Kalau dalam istilah kesehatan, imunisasi diartikan pemberian vaksin untuk mencegah terjadinya penyakit tertentu. Biasanya imunisasi bisa diberikan dengan cara disuntikkan maupun diteteskan pada mulut anak balita (bawah lima tahun).
Vaksin adalah bibit penyakit (misal cacar) yang sudah dilemahkan, digunakan untuk vaksinasi.[2] Vaksin membantu tubuh untuk menghasilkan antibodi. Antibodi ini berfungsi melindungi terhadap penyakit. Vaksin tidak hanya menjaga agar anak tetap sehat, tetapi juga membantu membasmi penyakit yang serius yang timbul pada masa kanak-kanak.
Imunisasi memiliki beberapa jenis, di antaranya Imunisasi BCG, Imunisasi DPT, Imunisasi DT, Imunisasi TT, imunisasi Campak, Imunisasi MMR, Imunisasi Hib, Imunisasi Varicella, Imunisasi HBV, Imunisasi Pneumokokus Konjugata. Perinciannya bisa dilihat dalam buku-buku kedokteran, intinya jenis imunisasi sesuai dengan penyakit yang perlu dihindari.
Vaksin secara umum cukup aman. Keuntungan perlindungan yang diberikan vaksin jauh lebih besar daripada efek samping yang mungkin timbul. Dengan adanya vaksin maka banyak penyakit masa kanak-kanak yang serius, yang sekarang ini sudah jarang ditemukan.[3]
Jadi, imunisasi merupakan penemuan kedokteran yang sangat bagus dan manfaatnya besar sekali dalam membentengi diri dari berbagai penyakit kronis, padahal biayanya relatif murah.[4]

Hukum Asal Imunisasi
Imunisasi hukumnya boleh dan tidak terlarang, karena termasuk penjagaan diri dari penyakit sebelum terjadi. Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda : “ Barangsiapa yang memakan tujuh butir kurma ajwah, maka dia akan terhindar sehari itu dari racun dan sihir” (HR. Bukhari : 5768, Muslim : 4702).
Hadits ini menunjukkan secara jelas tentang disyari’atkannya mengambil sebab untuk membentengi diri dari penyakit sebelum terjadi.[5] Demikian juga kalau dikhawatirkan terjadi wabah yang menimpa maka hukumnya boleh sebagaimana halnya boleh berobat tatkala terkena penyakit.[6]

Penggunaan Vaksin Polio Khusus (IPV)
Setelah sekelumit informasi tantang imunisasi di atas, sekarang kita masuk kepada permasalahan inti yang menjadi polemik hangat akhir-akhir ini, yaitu imunisasi dengan menggunakan vaksin polio khusus (IPV) yang dalam proses pembuatannya menggunakan enzim yang berasal dari babi. Bagaimanakah gambaran permasalahan yang sebenarnya ? Dan bagaimanakah status hukumnya?

A.Gambaran Permasalahan
Berdasarkan surat Menteri Kesehatan RI Nomor: 1192/MENKES/IX/2002, tanggal 24 September 2002, serta penjelasan Direktur Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Pemukiman Departemen Kesehatan, Direktur Bio Farma, Badan POM, LP POM-MUI, pada rapat Komisi Fatwa, Selasa, 1 Sya’ban 1423 / 8 Oktober 2002; dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
1.Pemerintah saat ini sedang berupaya melakukan pembasmian penyakit polio dari masyarakat secara serentak dengan cara pemberian dua tetes vaksin Polio oral (melalui saluran pencernaan).
2.Penyakit (virus) Polio, jika tidak ditanggulangi, akan menyebabkan cacat fisik (kaki pincang) pada mereka yang menderitanya.
3.Terdapat sejumlah anak balita yang menderita immunocompromise (kelainan sistem kekebalan tubuh) yang memerlukan vaksin khusus yang diberikan secara injeksi (vaksin jenis suntik).
4.Jika anak-anak yang menderita immunocompromise tersebut tidak diimunisasi maka mereka akan menderita penyakit Polio serta sangat dikhawatirkan pula mereka akan menjadi sumber penyebaran virus.
5.Vaksin khusus tersebut (IPV) dalam proses pembuatannya menggunakan enzim yang berasal dari porcine (babi), namun dalam hasil akhir tidak terdeteksi unsur babi.
6.Sampai saat ini belum ada IPV jenis lain yang dapat menggantikan vaksin tersebut dan jika diproduksi sendiri maka diperlukan investasi (biaya/modal) sangat besar sementara kebutuhannya sangat terbatas. [7]

B.Jembatan Menuju Jawaban
Untuk sampai kepada status hukum imunisasi model di atas, kami memandang penting untuk memberikan jembatan terlebih dahulu dengan memahami beberapa masalah dan kaidah berikut, setelah itu kita akan mengambil suatu kesimpulan hukum.[8]

1.Masalah Istihalah
Maksud Istihalah di sini adalah berubahnya suatu benda yang najis atau haram menjadi benda lain yang berbeda nama dan sifatnya. Seperti khomr berubah menjadi cuka, bai menjadi garam, minyak menjadi sabun, dan sebagainya.[9]
Apakah benda najis yang telah berubah nama dan sifatnya tadi bisa menjadi suci? Masalah ini diperselisihkan ulama, hanya saya pendapat yang kuat menurut kami bahwa perubahan tersebut bisa menjadikannya suci, dengan dalil-dalil berikut :
a.Ijma’ (kesepakatan) ahli ilmu bahwa khomr apabila berubah menjadi cuka maka menjadi suci.
b.Pendapat mayoritas ulama bahwa kulit bangkai bisa suci dengan disamak, berdasarkan sabda Nabi “ Kulit bangkai jika disamak maka ia menjadi suci.” ( Lihat Shohihul-Jami’ : 2711)
c.Benda-benda baru tersebut – setelah perubahan – hukum asalnya adalah suci dan halal, tidak ada dalil yang menajiskan dan mengharamkannya.
Pendapat ini merupakan madzhab Hanafiyyah dan Zhohiriyyah[10], salah satu pendapat dalah madzhab Malik dan Ahmad[11]. Pendapat ini dikuatkan oleh Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah[12], Ibnul Qoyyim, asy-Syaukani[13], dan lain-lain.[14]
Alangkah bagusnya ucapan Imam Ibnul-Qoyyim : “Sesungguhnya benda suci apabila berubah menjadi najis maka hukumnya najis, seperti air dan makanan apabila telah berubah menjadi air seni dan kotoran. Kalau benda suci bisa berubah najis, lantas bagaimana mungkin benda najis tidak bisa berubah menjadi suci? Allah telah mengeluarkan benda suci dari kotoran dan benda kotor dari suci. Benda asal bukanlah patokan. Akan tetapi, yang menjadi patokan adalah sifat benda tersebut sekarang. Mustahil benda tetap dihukumi najis padahal nama dan sifatnya telah tidak ada, padahal hukum itu mengikuti nama dan sifatnya.”[15]

2.Masalah Istihlak
Maksud Istihlak di sini adalah bercampurnya benda haram atau najis dengan benda lainnya yang suci dan hal yang lebih banyak sehingga menghilangkan sifat najis dan keharamannya, baik rasa, warna, dan baunya.
Apabila benda najis yang terkalahkan oleh benda suci tersebut bisa menjadi suci? Pendapat yang benar adalah bisa menjadi suci, berdasarkan dalil berikut : “Air itu suci, tidak ada yang menajiskannya sesuatu pun.” (Shohih. Lihat Irwa’ul-Gholil:14)
“Apabila air telah mencapai dua qullah maka tidak najis.” (Shohih. Lihat Irwa’ul-Gholil:23).
Dua hadits di atas menunjukkan bahwa benda yang najis atau haram apabila bercampur dengan air suci yang banyak, sehingga najis tersebut lebur tak menyisakn warna atau baunya maka dia menjadi suci. Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Barang siapa yang memperhatikan dalil-dalil yang disepakati dan memahami rahasia hukum syari’at, niscaya akan jelas baginya bahwa pendapat ini paling benar, sebab najisnya air dan cairan tanpa bisa berubah, sangat jauh dari logika.”[16]
Oleh karenanya, seandainnya ada seseorang yang meminum khomr yang bercampur dengan air yang banyak sehingga sifat khomr-nya hilang maka dia tidak dihukumi minum khomr. Demikian juga, bila ada seorang bayi diberi minum ASI (air susu ibu) yang telah bercampur dengan air yang banyak sehingga sifat susunya hilang maka dia tidak dihukumi sebagai anak persusuannya.”[17]

3.Dhorurat dalam Obat
Dhorurat (darurat) adalah suatu keadaan terdesak untuk menerjang keharaman, yaitu ketika seorang memilki keyakinan bahwa apabila dirinya tidak menerjang larangan tersebut niscaya akan binasa atau mendapatkan bahaya besar pada badanya, hartanya atau kehormatannya. Dalam suatu kaidah fiqhiyyah dikatakan:
“Darurat itu membolehkan suatu yang dilarang”
Namun kaidah ini harus memenuhi dua persyaratan: tidak ada pengganti lainya yang boleh (mubah/halal) dan mencukupkan sekadar untuk kebutuhan saja.
Oleh karena itu, al-Izzu bin Abdus Salam mengatakan : “Seandainya seorang terdesak untuk makan barang najis maka dia harus memakannya, sebab kerusakan jiwa dan anggota badan lebih besar daripada kerusakan makan barang najis.”[20]

4.Kemudahan Saat Kesempitan
Sesungguhnya syari’at islam ini dibangun di atas kemudahan. Banyak sekali dalil-dalil yang mendasari hal ini, bahkan Imam asy-Syathibi mengatakan: “Dalil-dalil tentang kemudahan bagi umat ini telah mencapai derajat yang pasti”.[20]
Semua syari’at itu mudah. Namun, apabila ada kesulitan maka akan ada tambahan kemudahan lagi. Alangkah bagusnya ucapan Imam asy-Syafi’i tatkala berkata : “Kaidah syari’at itu dibangun (di atas dasar) bahwa segala sesuatu apabila sempit maka menjadi luas.”[21]

5.Hukum Berobat dengan sesuatu yang Haram
  Masalah ini terbagi menjadi dua bagian :
a.Berobat dengan khomr adalah haram sebagaimana pendapat mayoritas ulama, berdasarkan dalil : “Sesungguhnya khomr itu bukanlah obat melainkan penyakit.” (HR. Muslim:1984) Hadist ini merupakan dalil yang jelas tentang haramnya khomr dijadikan sebagai obat.[22]
b.Berobat dengan benda haram selain khomr. Masalah ini diperselisihkan ulama menjadi dua pendapat :
Pertama : Boleh dalam kondisi darurat. Ini pendapat Hanafiyyah, Syafi’iyyah, dan Ibnu Hazm.[23] Di antara dalil mereka adalah keumuman firman Allah :… Sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya…. (QS. Al- An’am [6]:119)
Demikian juga Nabi membolehkan sutera bagi orang yang terkena penyakit kulit, Nabi membolehkan emas bagi sahabat arfajah untuk menutupi aibnya, dan bolehnya orang yang sedang ihrom untuk mencukur rambutnya apabila ada penyakit di rambutnya.
Kedua: Tidak boleh secara mutlak. Ini adalah madzab Malikiyyah dan Hanabillah.[24] Di antara dalil mereka adalah sabda Nabi :“Sesungguhnya Allah menciptakan penyakit dan obatnya, maka berobatlah dan jangan berobat dengan benda haram” (ash-Shohihah:4/174)
Alasan lainnya karena berobat hukumnya tidak wajib menurut jumhur ulama, dan karena sembuh dengan berobat bukanlah perkara yang yakin.
Pendapat yang kuat: Pada asalnya tidak boleh berobat dengan benda-benda haram kecuali dalam kondisi darurat, yaitu apabila penyakit dan obatnya memenuhi kriteria sebagai berikut :
1)Penyakit tersebut penyakit yang harus diobati 2)Benar-benar yakin bahwa obat ini sangat bermanfaat pada penyakit tersebut. 3)Tidak ada pengganti lainnya yang mubah.[25]

6.Fatwa-fatwa
Dalam kasus imunisasi jenis ini, kami mendapatkan dua fatwa yang kami pandang perlu kami nukil di sini :

Dalam ketetapan mereka tentang masalah ini dikatakan: “Setelah Majelis mempelajari masalah ini secara teliti dan menimbang tujuan-tujuan syari’at, kaidah-kaidah fiqih serta ucapan para ahli fiqih, maka Majelis menetapkan :
1) Penggunaan vaksin ini telah diakui manfaatnya oleh kedokteran yanitu melindungi anak-anak dari cacat fisik (kepincangan) dengan izin Allah. Sebagaimana belum ditemukan adanya pengganti lainnya hingga sekarang. Oleh karena itu, menggunakannya sebagai obat dan imunisasi hukumnya boleh, karena bila tidak maka akan terjadi bahaya yang cukup besar. Sesungguhnya pinti fiqih luas memberikan toleransi dari perkara najis- kalau kita katakan bahwa cairan (vaksin) itu najis- apabila terbukti bahwa cairan najis ini telah lebur dengan memperbanyak benda-benda lainnya. Ditambah lagi bahwa keadaan ini masuk dalam kategori darurat atau hajat yang sederajat dengan darurat, sedangkan termasuk perkara yang dimaklumi bersama bahwa tujuan syari’at yang paling penting adalah menumbuhkan maslahat dan membedung mafsadat.
2) Majelis mewasiatkan kepada para pemimpin kaum muslimin dan pemimpin markaz agar mereka tidak bersikap keras dalam masalah ijtihadiyyah (berada dalam ruang lingkup ijtihad) seperti ini yang sangat membawa maslahat yang besar bagi anak-anak muslim selagi tidak bertentangan dengan dalil-dalil yang jelas.[26]

b.Fatwa MUI (Majelis Ulama Indonesia)
Majelis Ulama Indonesia dalam rapat pada 1 Sya’ban 1423H, setelah mendiskusikan masalah ini mereka menetapkan :
1). Pada dasarnya, penggunaan obat-obatan, termasuk vaksin, yang berasal dari – atau mengandung- benda najis ataupun benda terkena najis adalah haram. 2). Pemberian vaksin IPV kepada anak-anak yang menderita immunocompromise, pada saat ini, dibolehkan, sepanjang belum ada IPV jenis lain yang suci dan halal.[27]

C.Kesimpulan dan Penutup
Setelah keterangan singkat di atas, kami yakin pembaca sudah bisa menebak kesimpulan kami tentang hukum imunisasi IPV ini, yaitu kami memandang bolehnya imunisasi jenis ini dengan alasan-alasan sebagai berikut :
1.Imunisasi ini sangat dibutuhkan sekali sebagaimana penelitian ilmu kedokteran.
2.Bahan haram yang ada telah lebur dengan bahan-bahan lainnya.
3.Belum ditemukan pengganti lainnya yang mubah.
4.Hal ini termasuk dalam kondisi darurat.
5.Sesuai dengan kemudahan syari’at di kala ada kesulitan.
Demikianlah hasil analisis kami tentang masalah ini, maka janganlah kita meresahkan masyarakat dengan kebingungan kita tentang masalah ini. Namun seperti yang kami isyarakatkan di muka bahwa pembahasan ini belumlah titik, masih terbuka bagi semuanya untuk mencurahkan pengetahuan dan penelitian baik sari segi ilmu medis maupun ilmu syar’i agar bisa sampai kepada hukum yang sangat jelas. Kita memohon kepada Allah agar menambahkan bagi kita ilmu yang bermanfaat. Amin.

Daftar Referensi ————–
1.Ahkamul-Adwiyah Fi syari’ah Islamiyyah kar. Dr. Hasan bin ahmad al-Fakki, terbetin Darul-Minhaj, KSA, cet. Pertama 1425H.
2.Al-Mawad al-Muharromah wa Najasah fil Ghidza’wad-Dawa’ kar. Dr. Nazih ahmad, terbitan Darul –Qolam, damaskus, cet. Pertama 1425 H.
3.Fiqih Shoidali Muslimin kar. Dr. Kholid abu Zaid ath-Thomawi, terbitan Dar shuma’i, KSA, cet. Pertama 1428 H
4.Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia
5.dan lain-lain

Catatan Kaki :
1.Al-Mawad al-Muharromah wan-Najasah Fil-Ghidza’ wad-Dawa’ kar. Dr. Nazih Hammad hlm. 7-8
2.KBBI Edisi Ke tiga Cetakan ketiga 2005 hlm. 1258.
3.Sumber:medicastore.com. Lihat pula al-Adwa kar. Ali al-Bar hlm. 126, Ahkamul Adwiyah Fi Syari’ah Islamiyyah kar. Dr. Hasan al-Fakki hlm. 128.
4.Ahkamu Tadawi kar. Ali al-Bar hlm. 22
5.Ibnul-Arobi berkata: “Menurutku bila seorang mengetahui sebab penyakit dan khawatir terkena olehnya, maka boleh baginya untuk membendungnya dengan obat.” (al-Qobas: 3/1129)
6.Majmu’ Fatawa wa Maqolat Syaikh Ibnu Baz: 6/26
7.Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia hlm. 369
8.Lihat Al-Mawad al-Muharromah wan-Najasah hlm. 16-38, Ahkamul Adwiyah Fi Syari’ah Islamiyyah hlm. 187-195, Fiqh Shoidali al-Muslim kar. Dr. Khalid abu Zaid hlm. 72-84.
9.Lihat Hasyiyah Ibni Abidin:1/210
10.Roddul-Mukhtar’: 1/217, al-Muhalla: 7/422
11.al-Majmu’: 2/572 dan al-Mughni: 2/503
12.Al-Ikhtiyorot al-Fiqhiyyah hlm. 23
13.Sailul-Jarror: 1/52
14.Lihat masalah ini secara luas dalam kitab al-Istihalah wa ahkamuha Fil-Fiqh Islami kar. Dr. Qodhafi ‘Azzat al-Ghonanim.
15.I’lamul-Muwaqqi’in: 1/394
16.Majmu’ Fatawa: 21/508, al-Fatawa al-Kubro: 1.256
17.Al-Fatawa al-Kubro kar. Ibnu Taimiyyah: 1/143, Taqrirul-Qowa’id kar. Ibnu Rojab: 1/173
18.Al-asybah wan-Nazho’ir Ibnu Nujaim hlm. 94 dan al-Asybah wan-Nazho’ir as-Suyuthi hlm. 84
19.Qowa’idul-Ahkam hlm. 141
20.Al-Muwafaqot kar. Asy-Syathibi: 1/231
21.Qowa’idul-Ahkam hlm. 60
22.Syarh Shohih Muslim kar. An-Nawawi: 13/153, Ma’alim Sunan kar. Al-Khoththobi: 4/205
23.Lihat Hasyiyah Ibni Abidin: 4/215, al-Majmu’ kar. An-Nawawi: 9/50, al-Muhalla kar. Ibnu Hazm: 7/426
24.Lihat al-Kafi kar. Ibnu Abdil Barr hlm. 440, 1142, al-Mughni kar. Ibnu Qudamah: 8/605
25.Ahkamul Adwiyah Fi Syari’ah Islamiyyah hlm. 187.
26.Website Majlis Eropa Lil Ifta’wal Buhuts/www.e-cfr.org, dinukil dari kitab Fiqh Shoidali al-Muslim hlm. 107.
27.Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia hlm. 370.
[Sumber : Majalah Al Furqan, Edisi 05 Th. ke - 8 1429 H/2008 M, oleh : Al Ustadz Abu Ubaidah Yusuf bin Mukhtar as-Sidawi]




Dr.H.Arifianto, (residen Program Pendidikan Dokter Spesialis Anak)menulis dalam blognya

Mengapa Tidak Mau Memberikan Imunisasi?


Seorang sejawat mengirimkan e-mail di bawah ini: “kalau bisa Anda buat tulisan tentang pentingnya imunisasi/vaksinasi karena sekarang mulai banyak keluarga muslim yang tidak mau anaknya divaksinasi dan lebih memilih "bahan-bahan" alternatif sperti beberapa merek yang sudah banyak bereder melalui sistem MLM di kalangan tertentu, walaupun saya tahu persis produk-produk tersebut belum ada penelitian Randomized Controlled Trials-nya. Ini potensi destruktifnya kan besar sekali untuk potensi generasi di masa yang akan datang.. Mereka bahkan sdh ada yg meminta utk diadakan semacam penyuluhan untuk menginformasikan tentang bahaya/tidak perlunya vaksinansi, di antara argumennya ialah bahwa vaksin itu buatan Yahudi/strategi Amerika utk meracuni anak-anak muslim...”

Baiklah kawan, saya coba memberikan pendapat saya. Sebuah buku yang (ternyata) ditulis oleh seorang dokter (si penulis tidak menyebutkan dengan tegas bahwa ia dokter, setelah menelusuri profilnya di internet baru saya tahu) memberikan keterangan seperti ini: “Vaksinasi bisa menghancurkan sistem kekebalan tubuh kita. Para ahli klinis yang meneliti penyakit sebelum dan sesudah vaksinasi menyimpulkan bahwa vaksin dapat melemahkan sistem imun. Akibat buruk suntikan vaksin bisa terus berlanjut. Dalam kasus-kasus tertentu yang buruk, suntikan vaksin itu malah bisa membunuh orang yang diberi suntikan. Beberapa ahli juga mengatakan kalau vaksin justru melemahkan upaya tubuh untuk bereaksi secara normal terhadap penyakit. Bahkan, ia berpotensi juga memunculkan penyakit autoimun. Terdapat beberapa penyakit autoimun, di antaranya: sindrom Guillain Barre, trombositopenia, dan artritis.” Padahal beberapa halaman sebelumnya penulis menyebutkan, “sistem imun adalah upaya silaturahmi yang bertugas untuk mengembangkan suatu pola interaksi yang sehat. Hal ini dapat diamati pada proses vaksinasi, yaitu pada saat sebagian eleman mikroba patogen (penyebab penyakit) yang telah dilemahkan atau bagian yang tidak berbahaya diperkenalkan ke dalam tubuh sebagai faktor “pengingat” bagi sistem imun”. Pernyataannya kontradiktif, di bagian akhir buku penulis mengajak pembaca untuk tidak memberikan imunisasi, tetapi di halaman pembuka, ia menjelaskan imunisasi memberikan pola interaksi yang sehat dalam tubuh.Anyway, saya setuju dengan 90% isi bukunya, hanya statement tentang imunisasi dan beberapa hal kecil lain saja yang saya tidak sepakat. Juga hal-hal yang disebut di atas seperti Guillain Barre syndrome, trombositopenia, dan artritis, disebut sebagai Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI) atau post vaccination adverse event, yang relatif jarang terjadi, jarang sekali yang fatal, dan dijelaskan oleh dokter sebelum tindakan imunisasi dilakukan, sehingga mendapat persetujuan tindakan dari orangtua.

Bukan hal baru bagi dokter dan pasien, bahwa sebagian dokter tidak mau memberikan imunisasi bagi pasien-pasiennya. Ada yang tidak mau memberikan vaksin jenis tertentu saja, ada yang menunda memberikan vaksin tertentu sampai umur lewat dari usia yang direkomendasikan, dan ada yang tidak mau memberikan semua jenis vaksin. Padahal jelas sekali, di seluruh dunia vaksinasi/imunisasi telah terbukti mengurangi angka kesakitan dan kematian akibat penyakit infeksi tertentu. Sebut saja cacar (variola, bukan cacar air atau varisela) yang telah musnah dari permukaan bumi sejak tahun 1970-an, padahal sebelumnya penyakit ini telah merenggut jutaan nyawa. Sebut lagi penyakit infeksi lain seperti cacar (measles) yang memiliki komplikasi meningitis (radang selaput otak) dan pneumonia (radang jaringan paru) yang mematikan. Juga ada difteri, pertusis, tetanus, polio, dan lain-lain—name it deh, semua vaksin yang ada—yang membuat kita hampir tidak pernah menemui kasus ini di keseharian. Padahal beberapa dekade silam ketakutan besar menimpa orangtua yang khawatir anaknya terkena penyakit-penyakit ini. Lalu mengapa dokter tidak memberikan?

Ada beberapa alasan dalam analisis pribadi saya. Pertama, sebuah isu massal menyebutkan bahwa vaksinasi adalah konspirasi Yahudi melemahkan daya tahan anak-anak berbagai umat. Toh sudah diberi vaksinasi campak, cacar air, BCG, masih bisa juga terkena campak, cacar air, dan tuberkulosis! Ya, tidak ada satupun vaksin memiliki efek protektif mencapai 100%. Semua dokter yang lulus dari fakultas kedokteran negeri ini juga tahu. Sebagai contoh, vaksinasi BCG memiliki efektivitas perlindungan terhadap TBC sebanyak 0 sampai 80%. Artinya, anak yang sudah diimunisasi BCG sangat mungkin terinfeksi TBC dan menjadi sakit di negara endemik TBC ini. Tetapi, BCG terbukti sangat efektif mencegah komplikasi TBC seperti TB milier dan meningitis TB. Vaksin-vaksin lain seperti DPT, Hepatitis B, campak, dsb memiliki angka efektifitas yang lebih tinggi dibandingkan BCG. Bayangkan saja kalau tidak ada vaksinasi campak. Padahal Depkes mencatat 30 ribu anak Indonesia meninggal per tahunnya akibat komplikasi campak (pneumonia, meningitis). Sampai-sampai diadakan PIN Campak bulan Februari tahun lalu di Jakarta. Vaksinasi campak jauh mengurangi angka kesakitan dan kematian ini.

Banyak orangtua juga membuktikan anak-anak mereka tidak ada satupun yang sakit-sakitan, dan selalu sehat, padahal tidak ada yang diimunisasi barang seorang pun. Hal ini tentunya sangat mungkin. Dalam konsep epidemiologi klinik, satu anak yang tidak diimunisasi polio misalnya, tapi ia adalah carrier(pembawa) virus polio, dapat menginfeksi seluruh anak lain yang berada di lingkungannya yang tidak mendapatkan imunisasi polio. Ini adalah hipotesis terjadinya heboh polio di Sukabumi tahun 2003 silam. Makanya seluruh anak dalam satu komunitas harus divaksinasi, tanpa kecuali.

Alasan kedua, di dalam vaksin juga disinyalir terdapat zat-zat haram, seperti babi, janin manusia yang diaborsi, dll. Selengkapnya bisa melihat ke www.halal-guide.com

Saya coba menyalin kandungan vaksin yang saya ambil dari kemasannya langsung. Ini daftarnya, sesuai merek dagang (beda pabrik bisa beda pengawet):

Infanrix-Hib (GSK), yaitu vaksin DaPT-Hib dalam satu sediaan (kombo), atau Tetract-Hib (DPT-Hib): isinya toksoid difteri, toksoid tetanus, dan tiga antigen pertusis yang dimurnikan dalam garam aluminium. Juga mengandung polisakarida kapsuler polyribosylribitol-fosfat (PRP) dari Hib. Toksin D dan T diperoleh dari kultur bakteri yang didetoksifikasi dan dimurnikan. Komponen seluler/aseluler P juga diperoleh dari bakteri B. pertusis. Kemudian semuanya diformulasikan dalam garam fisiologis, dan diawetkan dengan 2-fenoksietanol (alkohol).

Act-Hib (Aventis), isinya Hib saja: mengandung polisakarida Hib yang terkonjugasi dengan protein tetanus, dan pengawet Trometamol dan Sukrosa, dilarutkan dengan Natrium klorida.

Varilrix (GSK), yaitu vaksin varisela/cacar air: virus varisela-zoster strain OKA hidup yang dilemahkan, dikultur dalam sel diploid manusia MRC5.

Engerix-B (GSK), yaitu vaksin hepatitis B: antigen permukaan virus yang dimurnikan diolah dengan teknik DNA rekombinan, dimasukkan dalam aluminium hidroksida. Antigen dihasilkan melalui kultur sel kapang/yeast (Saccharomyces cerevisiae). Tidak ada satupun sel manusia hidup yang digunakan dalam pembuatannya.

MMR-II (MSD), yaitu vaksin kombo MMR: virus campak hidup yang dilemahkan dikultur dalam sel embrio ayam; virus mumps hidup juga dikultur dalam embrio ayam; virus rubella hidup dikultur dalam sel diploid manusia. Tidak mengandung pengawet.

Havrix 720 (GSK), yaitu vaksin hepatitis A mati yang diawetkan dengan formalin, dimasukkan dalam aluminium hidroksida, dan dipropagasi dalam sel diploid manusia.

Typhim Vi, yaitu vaksin tifoid, dari polisakarida S. Typhi, diawetkan dengan fenol dan larutan buffer yang mengandung NaCl, disodium fosfat, monosodium fosfat, dan air.

Saya masih belum bisa mendapatkan daftar isi kemasan produk Biofarma seperti BCG, Hepatitis B, polio, DPT, dan campak. Mudah-mudahan segera bisa dilengkapi.

Kira-kira komponen mana dari zat-zat di atas yang berpotensi membahayakan tubuh dan mengandung bahan haram? Saya belum menemukan bukti sahih. Semua obat yang diproses secara kimia di pabrik seharusnya mendapatkan perlakuan yang sama halnya dengan kepedulian terhadap imunisasi ini. Memang negara kita sangat bermasalah dalam status kehalalan obat-obatan dan kosmetika. Andaikan saja bisa mencontoh Malaysia, yang berusaha memproduksi sendiri vaksin halal. Maka saat ini, saya merujuk pada keputusan Majelis Ulama Indonesia (MUI) di sini (terlalu panjang jika disalin ulang):http://www.halalguide.info/content/view/120/397/ atauhttp://www.halalguide.info/content/view/120/55/
Analoginya bisa dipakai untuk seluruh jenis vaksin lain (BTW, vaksin IPV yang disebut dalam fatwa ini tidak digunakan secara luas di Indonesia, yang digunakan adalah OPV). Lebih lengkap lagi tentang imunisasi juga bisa dilihat di blog Bu Lita di http://lita.inirumahku.com/

Surat pembaca saya tentang kontroversi halal imunisasi ini pernah dimuat Majalah Hidayatullah edisi November 2007. Sayangnya tidak ada soft copy-nya di web, dan belum saya salin ulang.

Pro dan kontra terhadap imunisasi atau vaksinasi tidak akan pernah berakhir. Saya bersyukur ada komunitas seperti milis SEHAT (http://groups.yahoo.com/group/sehat) yang selalu mendiskusikan dan memberikan informasi terkini tentang imunisasi dan kesehatan secara umum yang sahih (tidak semua informasi kesehatan di internet terbukti sahih secara evidence based medicine). Silakan juga bukawww.sehatgroup.web.id