Suatu siang, kamis 30 Agustus 2012 sekitar pukul 12.15 aku
menelpon mama di Lampung. Ingin mengabarkan bahwa sidang tesisku hari in
berjalan lancar dan mendapatkan nilai maksimal. Alhamdulillaah. Namun, 3x kali
kucoba, tidak ada yang mengangkat. Akhirnya, aku coba telpon ke hp bapak, tak
perlu menunggu lama langsung diangkat. Sebelum aku menyampaikan maksudku ke
bapak, bapak sudah lebih dulu menjelaskan bahwa mama sedang “rewang” ke
tetangga yang beberapa hari lagi akan menikahkan anaknya dan HP mama tertinggal
dirumah, bapak sedang menerima tamu sehingga tidak bisa langsung mengangkat
telpon dariku.
Well, kembali ke topik. Aku mengabarkan tentang kelulusanku
kepada bapak. Juga sedikit “curhat” betapa bahagianya aku saat itu.. Mmm..
diluar dugaan, bapak yang selama ini sedikit sekali “bercerita” (karena kalo di
telpon biasanya cuma nanya seputar : “Lagi dimana?”, “sudah makan?”, “Hati-hati
di jalan”, “sudah bapak transfer”, dan pertanyaan singkat yang menunjukkan
bahwa beliau perhatian padaku), kali ini lain. Cukup panjang dan begitu
berkesan. Di telpon, beliau berkata “ Alhamdulillaah.. akhirnya anak bapak jadi
master. Semoga ilmunya bermanfaat dan berkah. Satu kewajiban bapak sudah
selesai, yaitu menyekolahkanmu, tinggal satu lagi yang belum yaitu “Ankahtuka
wa zawwajtuka makhtubataka binti Abdul Latif alal Mahri... “.
Cukup lama aku hening dan berpikir maksud
dari kalimat bapak, terutama yang terakhir. Maklum saja, dalam pikiranku masih
dipenuhi kilas balik sidang tesis tadi. Lama-lama aku mulai “loading” dan merasa pernah mendengar
kalimat sejenis itu.. Ya! Itu kalimat yang diucapkan dalam ijab-Qobul
Pernikahan. Mmm...belum sempat aku berkomentar, bapak melanjutkan lagi
kalimatnya :” ..terus nanti calon suamimu bilang ‘Qobiltu nikahaha wa tazwijaha
alal mahril madzkuur wa radhiitu bihi, wallahu waliyut taufiq.. ‘, setelah itu
selesai sudah kewajiban bapak terhadapmu.....
Hening sesaat. Aku “speechless”. Lalu
aku menjawab “ Aamiinn.. InsyaAllah pak..”, kemudian aku pamit dan berpesan
bahwa aku ingin bicara dengan mama setelah beliau sampai di rumah. Telpon
ditutup.
Meski pembicaraan ditelpon telah selesai, tapi kalimat2 itu masih terekam
dengan jelas dalam pikiran dan hatiku. Selama ini, bapak belum pernah secara
lugas dan jelas menyatakan hal tersebut. Ternyata beliau hanya menunggu “moment”
yang pas, yaitu kelulusan S2-ku. Antara bahagia dan terharu.
Aku begitu merasakan cinta seorang
bapak yang mungkin terkadang tertutupi dengan kesibukan beliau dan sikap bapak
sebagai seorang “laki-laki” yang jarang mengekspresikan cinta dan kasih sayang
secara langsung. Alhamdulillaah...
Dalam hati mengeja hikmah
karunia-Nya...bagaimana bedanya ekspresi kasih sayang seorang bapak dan mama,
indah dengan segala ke-khas-an nya. Maha suci Allah yang telah menciptakan
Laki-laki dan Wanita dengan semua kelebihan dan kekurangannya yang saling
melengkapi.
Bapak yang mengajarkan aku naik
sepeda, tapi tetap akan mengantarkan aku kemanapun aku pergi ketika di Lampung
(ketika beliau tidak sibuk). Bukan tidak mempercayaiku, tapi beliau hanya ingin
memastikan bahwa aku baik-baik saja.
Bapak yang memperhatikan HP-ku jika
rusak atau sudah saatnya dibelikan yang baru. Kata beliau, “ Komunikasi itu
penting. Apalagi kamu jauh. Anak yang baik adalah selalu menjaga komunikasi
dengan keluarganya”.
Bapak yang selalu mengingatkan aku “
..jika kamu akan menentukan pasangan hidupmu, selain sholih, lihat bagaimana ia
bersikap dan memuliakan keluarganya, dan bagaimana ia menghormati wanita. Menghormati
wanita dengan menjaga perasaannya dan berhati-hati dalam memberikan janji.. “.
...Atau, bapak yang selalu mengatakan
: “ ....kamu sudah dewasa, selama itu baik menurutmu dan agama.. InsyaAllah
bapak mendukung..”.
Begitulah cinta seorang bapak, yang selalu menjadi “cinta pertama” anak
perempuannya sebelum ia mencintai suaminya....
Tulisan yang kudedikasikan untuk
Bapak,
Sagan, Yogyakarta. 4 September 2012
Soraya binti Abdul Latif