Selasa, 04 September 2012

Mengeja sebuah Cinta...


Suatu siang, kamis 30 Agustus 2012 sekitar pukul 12.15 aku menelpon mama di Lampung. Ingin mengabarkan bahwa sidang tesisku hari in berjalan lancar dan mendapatkan nilai maksimal. Alhamdulillaah. Namun, 3x kali kucoba, tidak ada yang mengangkat. Akhirnya, aku coba telpon ke hp bapak, tak perlu menunggu lama langsung diangkat. Sebelum aku menyampaikan maksudku ke bapak, bapak sudah lebih dulu menjelaskan bahwa mama sedang “rewang” ke tetangga yang beberapa hari lagi akan menikahkan anaknya dan HP mama tertinggal dirumah, bapak sedang menerima tamu sehingga tidak bisa langsung mengangkat telpon dariku. 



Well, kembali ke topik. Aku mengabarkan tentang kelulusanku kepada bapak. Juga sedikit “curhat” betapa bahagianya aku saat itu.. Mmm.. diluar dugaan, bapak yang selama ini sedikit sekali “bercerita” (karena kalo di telpon biasanya cuma nanya seputar : “Lagi dimana?”, “sudah makan?”, “Hati-hati di jalan”, “sudah bapak transfer”, dan pertanyaan singkat yang menunjukkan bahwa beliau perhatian padaku), kali ini lain. Cukup panjang dan begitu berkesan. Di telpon, beliau berkata “ Alhamdulillaah.. akhirnya anak bapak jadi master. Semoga ilmunya bermanfaat dan berkah. Satu kewajiban bapak sudah selesai, yaitu menyekolahkanmu, tinggal satu lagi yang belum yaitu “Ankahtuka wa zawwajtuka makhtubataka binti Abdul Latif alal Mahri... “.  



Cukup lama aku hening dan berpikir maksud dari kalimat bapak, terutama yang terakhir. Maklum saja, dalam pikiranku masih dipenuhi kilas balik sidang tesis tadi. Lama-lama aku mulai “loading” dan merasa pernah mendengar kalimat sejenis itu.. Ya! Itu kalimat yang diucapkan dalam ijab-Qobul Pernikahan. Mmm...belum sempat aku berkomentar, bapak melanjutkan lagi kalimatnya :” ..terus nanti calon suamimu bilang ‘Qobiltu nikahaha wa tazwijaha alal mahril madzkuur wa radhiitu bihi, wallahu waliyut taufiq.. ‘, setelah itu selesai sudah kewajiban bapak terhadapmu.....

Hening sesaat. Aku “speechless”. Lalu aku menjawab “ Aamiinn.. InsyaAllah pak..”, kemudian aku pamit dan berpesan bahwa aku ingin bicara dengan mama setelah beliau sampai di rumah. Telpon ditutup.

Meski pembicaraan ditelpon telah selesai, tapi kalimat2 itu masih terekam dengan jelas dalam pikiran dan hatiku. Selama ini, bapak belum pernah secara lugas dan jelas menyatakan hal tersebut. Ternyata beliau hanya menunggu “moment” yang pas, yaitu kelulusan S2-ku. Antara bahagia dan terharu.



Aku begitu merasakan cinta seorang bapak yang mungkin terkadang tertutupi dengan kesibukan beliau dan sikap bapak sebagai seorang “laki-laki” yang jarang mengekspresikan cinta dan kasih sayang secara langsung. Alhamdulillaah...
Dalam hati mengeja hikmah karunia-Nya...bagaimana bedanya ekspresi kasih sayang seorang bapak dan mama, indah dengan segala ke-khas-an nya. Maha suci Allah yang telah menciptakan Laki-laki dan Wanita dengan semua kelebihan dan kekurangannya yang saling melengkapi.

Bapak yang mengajarkan aku naik sepeda, tapi tetap akan mengantarkan aku kemanapun aku pergi ketika di Lampung (ketika beliau tidak sibuk). Bukan tidak mempercayaiku, tapi beliau hanya ingin memastikan bahwa aku baik-baik saja.
Bapak yang memperhatikan HP-ku jika rusak atau sudah saatnya dibelikan yang baru. Kata beliau, “ Komunikasi itu penting. Apalagi kamu jauh. Anak yang baik adalah selalu menjaga komunikasi dengan keluarganya”.
Bapak yang selalu mengingatkan aku “ ..jika kamu akan menentukan pasangan hidupmu, selain sholih, lihat bagaimana ia bersikap dan memuliakan keluarganya, dan bagaimana ia menghormati wanita. Menghormati wanita dengan menjaga perasaannya dan berhati-hati dalam memberikan janji.. “.
...Atau, bapak yang selalu mengatakan : “ ....kamu sudah dewasa, selama itu baik menurutmu dan agama.. InsyaAllah bapak mendukung..”.

Begitulah cinta seorang bapak, yang selalu menjadi “cinta pertama” anak perempuannya sebelum ia mencintai suaminya....




Tulisan yang kudedikasikan untuk Bapak,
Sagan, Yogyakarta. 4 September 2012

Soraya binti Abdul Latif