Selasa, 27 Agustus 2013

Serba-Serbi Imunisasi




oleh Dr.dr. Zakiudin Munasir Sp.A(K), Konsultan Alergi-Imunologi, pada 12 April 2011

1. Imunisasi dan vaksinasi mempunyai pengertian yang sama yaitu memberikan kekebalan tubuh. Imunisasi berasal dar kata "immune" artinya kebal, jadi imunisasi berarti mengebalkan, sedangkan vaksinasi berasal dari kata "vaccine" yaitu zat yang dapat merangsang timbulnya kekebalan. Sebetulnya kata "vaccine" berasal dari nama virus "vaccinia" yaitu sejenis virus cacar yang tidak berbahaya yang dulu pertamakali dipakai untuk vaksinasi terhadap virus variola yang berbahaya. Jadi vaksinasi artinya memberikan vaksin yang merangsang kekebalan tubuh.

2. Ada sekelompok orang yang menentang imunisasi karena melihat adanya beberapa dampak imunisasi yang mungkin berbahaya. Memang belum ada vaksin yang 100 % sempurna. Seperti juga obat bahkan makanan, tidak semua orang dapat mentolerir dengan baik. Contohnya alergi atau reaksi simpang terhadap obat atau makanan. Hal tersebut juga terjadi pada vaksin. Sangat tidak bijaksana kalau gara-gara efek samping atau alergi yang hanya terjadi pada sebagian kecil individu lantas langsung menghapuskan imunisasi. Justru kita harus berusaha bagaimana kita dapat membuat vaksin yang lebih baik.
Kalau vaksinasi dihentikan, untuk negara maju seperti Amerika, mungkin tidak terlalu nyata dampaknya karena higiene lingkungan sudah sangat baik. Bagaimana kalau vaksinasi dihentikan di Indonesia dengan higiene lingkungan yang masih kurang? Kita tidak bisa bayangkan malapetaka yang akan terjadi. Kita ingat pada tahun 50 an yang mungkin generasi sekarang tidak mengalami, adanya wabah cacar berbahaya (istilah awam cacar api yang menyebabkan bopeng bila lolos dari maut) yang menelan banyak korban. Sekarang kita tidak menemukan lagi penyakit tersebut. Hal ini tentunya hasil vaksinasi massal yang dilakukan setelah wabah tersebut. Demikian juga sekarang sudah jarang sekali ditemukan penyakit difteri, polio maupun tetanus yang pada masa penulis menjalani pendidikan dokter dulu sangat banyak dijumpai di bangsal perawatan anak. Hal ini tentunya juga akibat keberhasilan imunisasi. Oleh karena itu marilah kita membantu pemerintah untuk mendukung program imunisasi ini dan jangan terpengaruh oleh isu-isu negatip yang tentunya akan merugikan masyarakat kita sendiri.

3. Vaksin MMR tidak mengandung “thimerosal”. Efek “thimerosal” akan muncul bila seseorang mendapat dosis thimerosal yang tinggi, misalnya melalui suntikan berkali-kali sehingga terjadi akumulasi. Anggapan bahwa MMR  memicu terjadinya autism sangatlah tidak rasional. Penelitian mutakhir menunjukkan bahwa tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa MMR ada  hubungan dengan autisme. Alasan lain mengapa MMR dihubungkan dengan kejadian autisme adalah saat pemberian MMR pada usia 15 bulan yang pada saat tersebut mulai belajar bicara. Jadi kalau anak terlambat atau tidak dapat bicara karena autisme, yang disalahkan adalah vaksin MMR. Anak yang menderita autisme sudah punya bakat kelainan dalam susunan sarafnya sejak dalam kandungan. Jauh lebih banyak anak yang mendapat suntikan MMR tanpa menderita autisme dibandingkan dengan anak yang tidak mendapat MMR  tapi menderita autisme.

4. Tidak ada vaksin yang efektif 100 % . Efektivitas vaksin bergantung pada beberapa faktor, antara lain dari anak yang menerima vaksin maupun vaksinnya sendiri. Vaksin dari pabrik bagus, tapi penyimpanannya kurang baik akan rusak atau berkurang efektivitasnya. Atau mungkin vaksinnya bagus, tapi daya tahan anak sedang tidak baik untuk dirangsang kekebalannya, maka efektivitasnya juga akan kurang. Oleh karena itu, penyimpanan vaksin harus baik, anak dalam keadaan sehat waktu diimunisasi, perhatikan tanggal kadaluwarsa vaksin untuk menjamin hasil imunisasi yang baik.

5. Pasien dengan gangguan kekebalan tubuh  bukan dilarang untuk pemberian vaksin selama penyakitnya sudah terkontrol dengan baik. Yang tidak boleh diberikan vaksin hidup (vaksin dari kuman yang dilemahkan ) adalah pasien yang menderita defisiensi imun (gangguan kekebalan tubuh). Misalnya vaksin polio oral.

7. Imunisasi wajib dan yang dianjurkan disesuaikan dengan penyakit di negara masing-masing.

8. Vaksin “combo” tidak menyebabkan efek melemahkan akibat akumulasi efek samping. Logikanya, kita kontak dengan vaksin “combo” yang mengandung hanya sekitar 3 sampai 5 jenis kuman yang dilemahkan, dibandingkan dengan kehidupan kita sehari-hari yang kontak dengan ribuan jenis kuman sekeliling kita, nyatanya kita aman-aman saja, kecuali bila daya tahan kita sedang menurun. Oleh karena itu dianjurkan saat vaksinasi dalam keadaan sehat.

9. Tubuh kita dibekali Tuhan system kekebalan yang sangat hebat/sempurna yaitu kekebalan nonspesifik dan spesifik. Kekebalan non spesifik sudah siap pakai, artinya menangkal segala zat asing termasuk kuman penyebab infeksi ke dalam tubuh kita.Tapi tidak selamanya hal ini berhasil, tergantung keganasan (virulensi) kuman atau kekebalan tubuh sendiri (misalnya usia dini atau sudah tua). Bila kekebalan ini gagal, maka akan diambil alih oleh kekebalan yang spesifik. Kekebalan spesifik ini tidak siap pakai, harus “belajar/kenal” dulu dengan kuman tersebut, dengan kata lain harus sakit dulu. Seseorang yang sakit bisa  kebal atau malah meninggal. Apakah kita mau untuk “belajar” ini harus sakit dulu?Supaya kita kebal tanpa sakit tentunya harus belajar kenal dengan kuman yang dilemahkan alias imunisasi. Seperti  juga dalam proses belajar sehari-hari, tentunya harus ada jadual yang tepat yang harus diikuti yang berdasarkan  dari banyak penelitian mengenai efektivitas jadwal pemberian vaksin.

Semoga bermanfaat.......

Benarkah Imunisasi Lumpuhkan Generasi? (Makalah Dr. Piprim B. Yanuarso Sp. A(K) dalam Talkshow Kontroversi Imunisasi)



Makalah Dr. Piprim B. Yanuarso Sp. A(K) dalam Talkshow Kontroversi Imunisasi, 19 Mei 2012

Pendahuluan

Akhir-akhir ini kita sering mendengar atau melihat seminar dengan judul yang membuat mata seorang dokter terbelalak. "Imunisasi lumpuhkan generasi" atau "Wahai para orangtua bekali dirimu dengan pengetahuan tentang bahaya imunisasi". Sebagai seorang dokter saya lalu merenung, bila benar apa yang mereka serukan itu, betapa besar dosa saya sebagai dokter anak yang sering mengimunisasi bayi dan anak yang datang ke tempat praktek. Betapa jahatnya saya sebagai manusia karena telah mengimunisasi begitu banyak bayi dan anak selama ini, bahkan sejak saya masih sebagai dokter umum di puskesmas dahulu. Lalu saya merenung dan mencoba meneliti kembali permasalahan ini. Siapa sebenarnya yang salah dan siapa yang benar? Dalam kontroversi yang memuat perbedaan 180 derajat ini, tidak mungkin kedua-duanya salah atau benar. Pasti salah satu benar dan yang lain salah. Dan saya khawatir bila selama ini sayalah yang bersalah itu. Saya sungguh khawatir jangan-jangan saya telah melumpuhkan begitu banyak generasi muda. Jangan-jangan saya telah melakukan dosa kemanusiaan yang sangat besar. Galau habis-habisan.

Rasa galau itu membuat saya membuka-buka literatur dan data yang ada tentang permasalahan imunisasi. Saya mencari tahu apa sebenarnya yang terjadi dengan seruan yang menentang keras imunisasi. Suatu pernyataan yang sangat bertolak belakang dengan yang selama ini saya pelajari bahwa imunisasi itu suatu tindakan preventif yang amat bermanfaat buat kemanusiaan. Di lain pihak kegalauan saya juga semakin menjadi bila mengingat andai seruan tersebut kemudian menyebar ke masyarakat luas lalu apa yang akan terjadi dengan bayi-bayi mungil tak berdosa itu di kemudian hari? Mungkinkah penyakit-penyakit berat yang dapat dicegah dengan imunisasi akan bangkit kembali dari kuburnya gara-gara seruan itu? Masalah ini justru menimbulkan kegalauan lebih dalam bagi saya.

Apakah Sebenarnya Imunisasi Itu?

Sebelum melangkah lebih jauh mari kita bahas sekilas apakah yang dimaksud dengan imunisasi. Imunisasi adalah suatu cara untuk meningkatkan kekebalan seseorang terhadap suatu penyakit, sehingga bila kelak terpajan pada penyakit tersebut ia tidak menjadi sakit. Kekebalan yang diperoleh dari imunisasi dapat berupa kekebalan pasif maupun aktif. Imunisasi yang diberikan untuk memperoleh kekebalan pasif disebut imunisasi pasif, dengan cara memberikan antibodi atau faktor kekebalan kepada seseorang yang membutuhkan. Contohnya adalah pemberian imunoglobulin spesifik untuk penyakit tertentu, misalnya imunoglobulin antitetanus untuk penyakit tetanus. Contoh lain adalah kekebalan pasif alamiah antibodi yang diperoleh janin dari ibu. Kekebalan jenis ini tidak berlangsung lama karena akan dimetabolisme oleh tubuh.

Kekebalan aktif dibuat oleh tubuh sendiri akibat terpajan pada antigen secara alamiah atau melalui imunisasi. Imunisasi yang diberikan untuk memperoleh kekebalan aktif disebut imunisasi aktif dengan memberikan zat bioaktif yang disebut vaksin, dan tindakan itu disebut vaksinasi. Kekebalan yang diperoleh dari vaksinasi berlangsung lebih lama dari kekebalan pasif karena adanya memori imunologis, walaupun tidak sebaik kekebalan aktif yang terjadi karena infeksi alamiah. Untuk memperoleh kekebalan aktif dan memori imunologis yang efektif maka vaksinasi harus mengikuti cara pemakaian dan jadwal yang telah ditentukan melalui bukti uji klinis yang telah dilakukan.

Tujuan imunisasi adalah untuk mencegah terjadinya penyakit tertentu pada seseorang dan menghilangkan penyakit tersebut pada sekelompok masyarakat (populasi), atau bahkan menghilangkannya dari dunia seperti kita lihat pada keberhasilan imunisasi cacar variola. Keadaan terakhir ini lebih mungkin terjadi pada jenis penyakit yang hanya dapat ditularkan melalui manusia, seperti penyakit difteri dan poliomielitis. Penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I) merupakan penyakit berbahaya yang dapat menyebabkan kematian dan kecacatan seumur hidup dan akan menjadi beban bagi masyarakat di kemudian hari. Sampai saat ini terdapat 19 jenis vaksin untuk melindungi 23 PD3I di seluruh dunia dan masih banyak lagi vaksin yang sedang dalam penelitian.

Adakah Bukti Bahwa Imunisasi Bermanfaat ?

Pertanyaan selanjutnya yang perlu dijawab adalah adakah manfaat imunisasi? Ataukah imunisasi hanya bikin mudhorot (keburukan) buat kemanusiaan? Untuk menjawab pertanyaan ini saya kemudian menelaah berbagai data status kesehatan masyarakat sebelum dan sesudah ditemukannya imunisasi di berbagai negara. Namun saya ingin menampilkan data dari negara maju seperti Amerika Serikat, karena kelompok antiimunisasi selalu menuduh bahwa imunisasi adalah sebuah proyek konspirasi dari negara ini untuk melumpuhkan generasi muda di seluruh dunia.

Sebelum adanya vaksin polio, terdapat 13.000 - 20.000 (16.316) kasus lumpuh layuh akut akibat polio dilaporkan setiap tahun di AS meninggalkan ribuan korban penderita cacat karena polio yang mesti menggunakan tongkat penyangga atau kursi roda. Saat ini AS dinyatakan bebas kasus polio. Angka penurunan mencapai 100%.

Sebelum adanya imunisasi campak, 503.282 kasus campak terjadi setiap tahun dan 20% di antaranya dirawat dengan jumlah kematian mencapai 450 orang pertahun akibat pneumonia campak. Setelah ada imunisasi campak kasus menurun hingga 55 kasus pertahun pada tahun 2006. Angka penurunan 99.9%.

Sebelum ditemukan imunisasi difteri terjadi 175.885 kasus difteri per tahun dengan angka kematian mencapai 15.520 kasus. Setelah imunisasi ditemukan tahun 2001 jumlahnya menurun menjadi 2 kasus dan tahun 2006 tidak ada lagi laporan kasus difteri. Angka penurunan mencapai 100%

Sebelum tahun 1940an terdapat 150.000-260.000 kasus pertussis setiap tahun dengan angka kematian mencapai 9000 kasus setahun. Setelah imunisasi pertussis ditemukan angka kematian menurun menjadi 30 kasus setahun. Namun dengan seruan antiimunisasi yang marak di AS terjadi lagi peningkatan kasus secara signifikan di beberapa negara bagian. Pada 8 negara bagian terjadi peningkatan kasus 10-100 kali lipat pada saat cakupan imunisasi pertussis menurun drastis.

Sebelum vaksin HiB ditemukan, HiB merupakan penyebab tersering meningitis bakteri (radang selaput otak) di AS, dengan 20.000 kasus per tahun. Meningitis HiB menyebabkan kematian 600 anak pertahun dan meninggalkan kecacatan berupa tuli, kejang, dan retardasi mental pada anak yang selamat. Pada tahun 2006 kasus meningitis HIB menurun menjadi 29 kasus. Angka penurunan 99.9%.

Hampir 90% bayi yang lahir dari ibu yang terinfeksi Rubella saat hamil trimester pertama akan mengalami sindrom Rubella kongenital, berupa penyakit jantung bawaan, katarak kongenital, dan ketulian. Pada tahun 1964 sekitar 20.000 bayi lahir dengan sindrom Rubella kongenital ini, mengakibatkan 2100 kematian neonatal dan 11.250 abortus. Setelah adanya imunisasi hanya dilaporkan 6 kasus sindrom Rubella kongenital pada tahun 2000. Kasus Rubella secara umum menurun dari 47.745 kasus menjadi hanya 11 kasus pertahun pada tahun 2006. Angka penurunan 99.9%.

Hampir 2 milyar orang telah terinfeksi hepatitis B suatu saat dalam hidupnya. Sejuta di antaranya meninggal setiap tahun karena penyakit sirosis hati dan kanker hati. Sekitar 25% anak-anak yang terinfeksi hepatitis B dapat diperkirakan akan meninggal karena penyakit hati pada saat dewasa. Terjadi penurunan jumlah kasus baru dari 450.000 kasus pada tahun 1980 menjadi sekitar 80.000 kasus pada tahun 1999. Penurunan terbanyak terjadi pada anak dan remaja yang mendapat imunisasi rutin.

Di seluruh dunia penyakit tetanus menyebabkan kematian pada 300.000 neonatus dan 30.000 ibu melahirkan setiap tahunnya dan mereka tidak diimunisasi adekuat. Tetanus sangat infeksius namun tidak menular, sehingga tidak seperti PD3I yang lain, imunisasi pada anggota suatu komunitas tidak dapat melindungi orang lain yang tidak diimunisasi. Karena bakteri tetanus terdapat banyak di lingkungan kita, maka tetanus hanya bisa dicegah dengan imunisasi. Bila program imunisasi tetanus distop, maka semua orang dari berbagai usia akan rentan menderita penyakit ini.
Sekitar 212.000 kasus mumps (gondongan) terjadi di AS pada tahun 1964. Setelah ditemukannya vaksin mumps pada tahun 1967 insidens penyakit ini menurun menjadi hanya 266 kasus pada tahun 2001. Namun pada tahun 2006 terjadi KLB di kalangan mahasiswa, sebagian besar di antara mereka menerima 2 kali vaksinasi. Terjadi lebih dari 5500 kasus pada 15 negara bagian. Mumps merupakan penyakit yang sangat menular dan hanya butuh beberapa orang saja yang tidak diimunisasi untuk memulai transmisi penyakit sebelum menyebar luas.
Sebelum vaksin pneumokokus ditemukan, pneumokokus menyebabkan 63.000 kasus invassive pneumococcal disease (IPD) dengan 6100 kematian di AS setiap tahun. Banyak anak yang menderita gejala sisa berupa ketulian dan kejang-kejang.

 Dari data di atas para ahli menyimpulkan bahwa imunisasi adalah salah satu di antara program kesehatan masyarakat yang paling sukses dan cost-effective . Program imunisasi telah menyebabkan eradikasi penyakit cacar (variola, smallpox), eliminasi campak dan poliomielitis di berbagai belahan dunia. dan penurunan signifikan pada morbiditas dan mortalitas akibat penyakit difteri, tetanus, dan pertussis. Badan kesehatan dunia (WHO) pada tahun 2003 memperkirakan 2 juta kematian anak dapat dicegah dengan imunisasi. Katz (1999) bahkan menyatakan bahwa imunisasi adalah sumbangan ilmu pengetahuan yang terbaik yang pernah diberikan para ilmuwan di dunia ini.

Kesalahpahaman Tentang Imunisasi

Meskipun imunisasi telah terbukti banyak manfaatnya dalam mencegah wabah dan PD3I di berbagai belahan dunia, namun masih terdapat sebagian orang yang memiliki miskonsepsi terhadap imunisasi. Secara umum berikut ini adalah beberapa miskonsepsi yang sering terjadi di masyarakt:

Kesalahpahaman 1: Penyakit-penyakit tersebut (PD3I) sebenarnya sudah mulai menghilang sebelum vaksin ditemukan karena meningkatnya higiene dan sanitasi.

Pernyataan sejenis ini dan variasinya sangat banyak dijumpai pada literatur antivaksin. Namun bila melihat insidens aktual PD3I sebelum dan sesudah ditemukannya vaksin kita tidak lagi meragukan manfaat vaksinasi. Sebagai contoh kita lihat kasus meningitis HiB di Canada. Higiene dan sanitasi sudah dalam keadaan baik sejak tahun 1990, namun kejadian meningitis HiB sebelum program imunisasi dilaksanakan mencapai 2000 kasus per tahun dan setelah imunisasi rutin dijalankan menurun menjadi 52 kasus saja dan mayoritas terjadi pada bayi dan anak yang tidak diimunisasi.
Contoh lain adalah pada 3 negara maju (Inggris, Swedia, dan Jepang) yang menghentikan program imunisasi pertussis karena ketakutan terhadap efek samping vaksin pertussis. Di Inggris tahun 1974 cakupan imunisasi menurun drastis dan diikuti dengan terjadinya wabah pertussis pada tahun 1978, ada 100.000 kasus pertussis dengan 36 kematian. Di Jepang pada kurun waktu yang sama cakupan imunisasi pertussis menurun dari 70% menjadi 20-40% hal ini menyebabkan lonjakan kasus pertussis dari 393 kasus dengan 0 kematian menjadi 13.000 kasus dengan 41 kematian karena pertussis pada tahun 1979. Di Swedia pun sama, dari 700 kasus pada tahun 1981 meningkat menjadi 3200 kasus pada tahun 1985. Pengalaman tersebut jelas membuktikan bahwa tanpa imunisasi bukan saja penyakit tidak akan menghilang namun juga akan hadir kembali saat program imunisasi dihentikan.

Kesalahpahaman 2: Mayoritas anak yang terkena penyakit justru yang sudah diimunisasi.

Pernyataan ini juga sering dijumpai pada literatur antivaksin. Memang dalam suatu kejadian luar biasa (KLB) jumlah anak yang sakit dan pernah diimunisasi lebih banyak daripada anak yang sakit dan belum diimunisasi.
Penjelasan masalah tersebut sebagai berikut: pertama tidak ada vaksin yang 100% efektif. Efektivitas sebagian besar vaksin pada anak adalah sebesar 85-95%, tergantung respons individu.
Kedua: proporsi anak yang diimunisasi lebih banyak daripada anak yang tidak diimunisasi di negara yang menjalankan program imunisasi. Bagaimana kedua faktor tersebut berinteraksi diilustrasikan dalam contoh berikut. Suatu sekolah mempunyai 1000 murid. Semua murid pernah diimunisasi campak 2 kali kecuali 25 yang tidak pernah sama sekali. Ketika semua murid terpapar campak, 25 murid yang belum diimunisasi semuanya menderita campak. Dari kelompok yang telah diimunisasi campak 2 kali, sakit 50 orang. Jumlah seluruh yang sakit 75 orang dan yang tidak sakit 925 orang. Kelompok antiimunisasi akan mengatakan bahwa persentase murid yang sakit adalah 67 % (50/75) dari kelompok yang pernah imunisasi, dan 33% (25/75) dari kelompok yang tidak diimunisasi. Padahal bila dihitung dari efek proteksi, maka imunisasi memberikan efek proteksi sebesar (975-25)/975 = 94.8%. Yang tidak diimunisasi efek proteksi sebesar 0/25= 0%. Dengan kata lain, 100% murid yang tidak mendapat imunisasi akan sakit campak; dibanding hanya 5,2% dari kelompok yang diimunisasi yang terkena campak. Jelas bahwa imunisasi berguna untuk melindungi anak.

Kesalahpahaman 3: Vaksin menimbulkan efek samping yang berbahaya, kesakitan, dan bahkan kematian.

Vaksin merupakan produk yang sangat aman. Hampir semua efek simpang vaksin bersifat ringan dan sementara, seperti nyeri pada bekas suntikan atau demam ringan. Kejadian ikutan pasca imunisasi (KIPI) secara definitif mencakup semua kejadian sakit pasca imunisasi. Prevalensi dan jenis sakit yang tercantum dalam KIPI hampir sama dengan prevalensi dan jenis sakit dalam keadaan sehari-hari tanpa adanya program imunisasi. Hanya sebagian kecil yang memang berkaitan dengan vaksin atau imunisasinya, sebagian besar bersifat koinsidens. Kematian yang disebabkan oleh vaksin sangat sedikit. Sebagai ilustrasi semua kematian yang dilaporkan di Amerika sebagai KIPI pada tahun 1990-1992, hanya 1 yang mungkin berhubungan dengan vaksin. Institut of Medicine (IOM) tahun 1994 menyatakan bahwa resiko kematian akibat vaksin adalah amat rendah (extra-ordinarily low).

Besarnya resiko harus dibandingkan dengan besarnya manfaat vaksin. Bila satu efek simpang berat terjadi dalam sejuta dosis vaksin namun tidak ada manfaat vaksin, maka vaksin tersebut tidak berguna. Manfaat imunisasi akan lebih jelas bila resiko penyakit dibandingkan dengan resiko vaksin.

Contoh vaksin MMR (melindungi campak, mumps (gondongan) dan rubella (campak jerman)
Pneumonia campak : resiko kematian 1:3000, resiko vaksin MMR alergi berat 1:1000.000
Ensefalitis mumps : 1 : 300 pasien mumps. resiko vaksin MMR ensefalitis  1:1000.000
Sindrom rubella kongenital : 1 : 4 bayi dari ibu hamil kena rubella

Contoh vaksin DPaT (melindungi difteri, pertussis, dan tetanus)
Difteri : Resiko kematian 1 : 20. Resiko vaksin DPaT menangis lama sementara 1 : 100
Tetanus : Resiko kematian 1 : 30. Resiko vaksin DPaT kejang sembuh sempurna 1 : 1750
Pertussis : Resiko ensefalitis pertussis 1 : 20. Resiko vaksin DPaT ensefalitis 1 : 1000.000

Kesalahpahaman 4: Penyakit penyakit tersebut (PD3I) telah tidak ada di negara kita sehingga anak tidak perlu diimunisasi

Angka kejadian beberapa penyakit yang termasuk PD3I memang telah menurun drastis. Namun kejadian penyakit tersebut masih cukup tinggi di negara lain. Siapa pun termasuk wisatawan dapat membawa penyakit tersebut secara tidak sengaja dan dapat menimbulkan wabah. Hal tersebut serupa dengan KLB polio di Indonesia pada tahun 2005 lalu. Sejak tahun 1995 tidak ada kasus polio yang disebabkan oleh virus polio liar. Pada bulan April 2005, Laboratorium Bioofarma di Bandung mengkonfirmasi adanya virus polio liar tipe 1 pada anak berusia 18 bulan yang menderita lumpuh layuh akut pada bulan Maret 2005. Anak tersebut tidak pernah diimunisasi sebelumnya. Virus polio itu selanjutnya menyebabkan wabah merebak ke 10 propinsi, 48 kabupaten. Sampai bulan April 2006 tercatat 349 kasus polio, termasuk 46 kasus VDVP (vaccine derived polio virus) di Madura. Dari analisis genetik virus diketahui bahwa virus berasal dari Afrika barat.

Analisis lebih lanjut menunjukkan bahwa virus sampai ke Indonesia melalui Nigeria dan Sudan sama seperti virus yang diisolasi di Arab Saudi dan Yaman. Dari pengalaman tersebut terbukti bahwa anak tetap harus mendapat imunisasi karena dua alasan. Alasan pertama adalah anak harus dilindungi. Meskipun resiko terkena penyakit adalah kecil, bila penyakit masih ada, anak yang tidak terproteksi tetap berpeluang terinfeksi. Alasan kedua imunisasi anak penting untuk melindungi anak lain di sekitarnya. Terdapat sejumlah anak yang tak dapat diimunisasi (misalnya karena alergi berat terhadap komponen vaksin) dan sebagian kecil anak yang tidak memberi respons terhadap imunisasi. Anak-anak tersebut rentan terhadap penyakit dan perlindungan yang diharapkan adalah dari orang-orang di sekitarnya yang tidak sakit dan tidak menularkan penyakit kepadanya.

Kesalahpahaman 5: Pemberian vaksin kombinasi (multipel) meningkatkan resiko efek simpang yang berbahaya dan dapat membebani sistem imun

Anak-anak terpapar pada banyak antigen setiap hari. Makanan dapat membawa bakteri yang baru ke dalam tubuh. Sistem imun juga akan terpapar oleh sejumlah bakteri hidup di mulut dan hidung. Infeksi saluran pernapasan bagian atas akan menambah paparan 4-10 antigen, sedangkan infeksi streptokokus pada tenggorokan memberi paparan 25-50 antigen. Tahun 1994 IOM menyatakan bahwa dalam keadaan normal penambahan jumlah antigen dalam vaksin tidak mungkin akan memberikan beban tambahan pada sistem imun dan tidak bersifat imunosupresif. Data penelitian menunjukkan bahwa imunisasi simultan dengan vaksin multipel tidak membebani sistem imun anak normal. Pada tahun 1999 Advisory Committee on Immunization Practices (ACIP), American Academy of Pediatrics (AAP), dan American Academy of Family Physicians (AAFP) merekomendasi pemberian vaksin kombinasi untuk imunisasi anak. Keuntungan vaksin kombinasi adalah mengurangi jumlah suntikan, mengurangi biaya penyimpanan dan pemberian vaksin, mengurangi jumlah kunjungan ke dokter, dan memfasilitasi penambahan vaksin baru ke dalam program imunisasi.

Kesalahpahaman : Vaksin MMR menyebabkan autisme

Beberapa orangtua anak dengan autisme percaya bahwa terdapat hubungan sebab akibat antara vaksin MMR dengan autisme. Gejala khas autisme biasanya diamati oleh orangtua saat anak mulai tampak gejala keterlambatan bicara setelah usia lewat satu tahun. Vaksin MMR diberikan pada usia 15 bulan (di luar negeri 12 bulan). Pada usia sekitar inilah biasanya gejala autisme menjadi lebih nyata. Meski pun ada juga kejadian autisme mengikuti imunisasi MMR pada beberapa kasus. Akan tetapi penjelasan yang paling logis dari kasus ini adalah koinsidens. Kejadian yang bersamaan waktu terjadinya namun tidak terdapat hubungan sebab akibat.

Kejadian autisme meningkat sejak 1979 yang disebabkan karena meningkatnya kepedulian dan kemampuan kita mendiagnosis penyakit ini, namun tidak ada lonjakan secara tidak proporsional sejak dikenalkannya vaksin MMR pada tahun 1988. Pada tahun 2000 AAP membuat pernyataan : "Meski kemungkinan hubungan antara vaksin MMR dengan autisme mendapat perhatian luas dari masyarakat dan secara politis, serta banyak yang meyakini adanya hubungan tersebut berdasarkan pengalaman pribadinya, namun bukti-bukti ilmiah yang ada tidak menyokong hipotesis bahwa vaksin MMR menyebabkan autisme dan kelainan yang berhubungan dengannya.

Pemberian vaksin measles, mumps, dan rubella secara terpisah pada anak terbukti tidak lebih baik daripada pemberian gabungan menjadi vaksin MMR, bahkan akan menyebabkan keterlambatan atau luput tidak terimunisasi. Dokter anak mesti bekerjasama dengan para orangtua untuk memastikan bahwa anak mereka terlindungi saat usianya mencapai 2 tahun dari PD3I. Upaya ilmiah mesti terus dilakukan untuk mengetahui penyebab pasti dari autisme. Lembaga lain yaitu CDC dan NIH juga membuat pernyataan yang mendukung AAP. Pada tahun 2004 IOM menganalisis semua penelitian yang melaporkan adanya hubungan antara vaksin MMR dengan autisme. Hasilnya adalah tidak satu pun penelitian itu yang tidak cacat secara metodologis. Kesimpulan IOM saat itu adalah tidak terbukti ada hubungan antara vaksin MMR dengan autisme.

Penutup

Setelah mengkaji berbagai literatur sebagaimana disebutkan di atas, maka secara berangsur kegalauan saya menghilang. Saya semakin yakin akan kebenaran teori ilmiah berbasis bukti yang sudah ditemukan para ahli. Bahkan beberapa waktu lalu ada sejawat saya Dr Julian Sunan, seorang dokter yang masih muda dan amat ganteng (menurut pengakuannya sendiri) telah menelaah bahwa ternyata tokoh-tokoh antivaksin yang sering dikutip kelompok antivaksin di Indonesia ternyata banyak yang fiktif. Mereka melakukan pemelintiran data dan pemutarbalikan fakta. Tak heran kalau yang sangat aman dianggap sangat berbahaya dan penyakit sangat berbahaya nan mematikan dianggap tidak apa apa dan mungkin malah diajak bersahabat karib oleh kelompok antiimunisasi.
Terimakasih.

Bahan bacaan
Ranuh IGNG, Suyitno H, Hadinegoro SRS, Kartasasmita CB, Ismoedijanto, Soedjatmiko. Buku Pedoman Imunisasi di Indonesia, edisi ke-4. Satgas Imunisasi Ikatan Dokter Anak Indonesia, Jakarta 2011.
Center for Disease Control http://www.cdc.gov
Gangarosa EJ, et al. Impact of anti-vaccine movements on pertussis control: the untold story. Lancet 1998;351:356-61.
Am. Acad. Ped. When Parents Refuse to Immunize Their Children. PEDIATRICS Vol. 115 No. 5 May 2005, pp. 1428-1431 (doi:10.1542/peds.2005-0316)
Diekema DS and the Committee on Bioethics. Responding to Parental Refusals of Immunization of Children. Pediatrics 2005;115:1428–1431
Halsey NA and others. Measles-mumps-rubella vaccine and autistic spectrum disorder: Report from the New Challenges in Childhood Immunizations Conference Convened in Oak Brook, Illinois, June 12-13, 2000. Pediatrics 107(5):E84, 2001.
National Network for Immunization Information http://www.immunizationinfo.org/
http://juliansunan.blogspot.com/ Bahaya imunisasi, telaah tahap 1 dan tahap 2

Vaksin Halal dan Thoyyibah


Kultwit Dr. Piprim B. Yanuarso Sp.A (K) pada 17 Juni 2012

1) Ada yg tau gambar ini ? Apa fungsinya alat ini? http://t.co/lAjpIjXl

2) Ya betul foto di point 1) adalah lumpang atau mortir dan stamfer yg dipake utk menggerus obat menjadi puyer..

3) Pada pembuatan obat dg lumpang ini semua bahan baku serta bahan obat aktifnya dicampur jadi satu. Bersinggungan satu sama lain.

4) Nah kalo proses pembuatan vaksin seperti menggerus obat dalam lumpang,tripsin babi dicampur bahan aktif antigen vaksin, maka vaksin haram

5) Proses pembuatan vaksin sama sekali berbeda dengan meracik obat dalam lumpang. Beda total. Jangan salah persepsi.

6) Produksi obat dan vaksin skala industri menggunakan sistem industrial plant yg kompleks dan terintegrasi. Beda dg menggerus puyer..

7) Utk bikin vaksin perlu a. Produksi seed (parent seed, master seed, dan working seed) b. Fermentasi working seed c. Isolasi antigen vaksin

8) d. Purifikasi (pemurnian) polisakarida vaksin.jadi ada berbagai tahap shg bahan baku utk keperluan tertentu tdk besinggungan satu sm lain

9) Semua vaksin produksi Biofarma tdk mengandung enzym tripsin yg berasal dari babi.. Jadi MUI sdh mengatakan vaksin Biofarma halal..

10) Nah skrg bagaimana vaksin yg pada prosesnya memerlukan tripsin babi sbg katalisator prosesnya?

11) Enzym tripsin babi hanya berfungsi sbg 'gunting' utk memecah rantai panjang protein mjd peptida rantai pendek as amino.

12) Jadi tripsin babi ini tidak dimakan oleh bakteri penghasil vaksin tsb..dg kata lain enzim babi hanya bersinggungan dg sel sel bakteri..

13)Sel-sel bakteri setelah mengalami fermentasi kmd dipecah dan polisakarida yg ada di sebelah dalam dinding bakteri tsb diambil..

14) Polisakarida inilah yg digunakan sbg antigen/vaksin. Jadi polisakarida tsb tdk bersinggungan baik langsung atau tidak dg enzim babi tsb

15) Polisakarida tsb kmd mengalami purifikasi dg cara pencucian dan penyaringan bbrp kali utk mdptkan polisakarida vaksin yg murni..

16) Ini ilustrasi proses pembuatan polisakarida vaksin..tampak bhw antigen vaksin tdk bersinggungan dg tripsin babi.. http://t.co/zuLbakQD

17) Proses pencucian dan pengenceran working seed tjd 1:67.5 milyar kali...jd dicuci dan diencerkan 67.5 milyar kali sodara-sodara...

18) Keputusan hukum PP Lembaga Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama no 04 th 2010 ttg vaksin meningitis: pensuciannya sesuai utk najis berat

19) Pensucian cukup dg cara mengeluarkan/membuang enzym babi yg hanya bersinggungan dan TIDAK LARUT dan TIDAK MENYATU dg bakteri phsl vaksin

20) Hukum vaksinasi meningitis adl mubah (boleh) dan mjd wajib bila tanpa imunisasi itu dikhawatirkan akan terinfeksi bakteri meningitis..

21) Vaksin yg dlm prosesnya menggunakan tripsi babi adl vaksin Meningitis, Polio injeksi, dan Rotavirus...

22) Dgn pemaparan proses pembuatan vaksin spt di atas maka jelas bahwa penggunaan tripsin babi sbg katalisator tsb tdk sama dg membuat puyer

23) Demikian scr ringkas pemaparan proses pembuatan vaksin. Para ahli sdg mencoba terus mengusahakan enzym selain tripsin babi, smg berhasil

24) Kabar baik ttg Biofarma yg mampu membuat parent seed halal.. http://t.co/65qLMDSA

26) Ilustrasi menarik ttg kaitan surat Al Baqarah 173 dg vaksin..smg bermanfaat.. http://t.co/bqpvRNik 

27) Bahan kultwit ttg kehalalan vaksin diambil dari presentasi Prof DR Umar Anggara Jenie, guru besar Farmasi UGM pd lokakarya Jaminan Produk Halal di Jkt..

Pandangan Islam terhadap Vaksinasi


Oleh Dr. Piprim B. Yanuarso Sp.A (K), disampaikan Simposium Imunisasi 8 Juli 2012, http://drpiprim.blogspot.com/

    Beberapa waktu belakangan ini marak seruan antivaksinasi bermotifkan isu agama. Isu yang dihembuskan adalah menyangkut kehalalan dan keamanan vaksin. Apalagi kelompok antivaksinasi ini sangat giat menyebarkan pemahamannya baik di ranah media sosial seperti twitter dan facebook maupun di pelosok-pelosok melalui berbagai forum, seperti majelis taklim di masjid-masjid kampung. Masyarakat awam pun mudah mengikuti seruan ini karena sensitifnya isu halal dan haram vaksin. Selain itu isu bahwa vaksin mengandung zat kimia beracun pun dihembuskan kencang. Hal ini diakhiri dengan himbauan agar masyarakat kembali menggunakan pengobatan ala nabi (tibbun-nabawy) dan melarang penggunaan obat kimia dan vaksin yang merupakan buatan manusia. Umat dihimbau agar menggunakan zat alamiah seperti herbal dan tidak lagi memakai obat-obatan modern. Alasannya karena herbal itu buatan dan racikan Allah SWT sendiri sedangkan obat modern dan vaksin itu murni buatan manusia.

    Terjadi dikotomi antara herbal dengan obat modern, tibbun-nabawy dengan vaksinasi, yang satu diposisikan sebagai berasal dari Allah dan yang lain berasal dari manusia, yang satu benar mutlak yang lain salah total. Mereka menuduh ada bisnis besar di balik penjualan obat modern dan vaksin yang menggunakan dokter dan tenaga kesehatan lain sebagai agen-agennya. Ditambah dengan bumbu teori konspirasi, bahwa vaksin adalah senjata Yahudi untuk melumpuhkan generasi muslim, maka lengkaplah sudah kegalauan masyarakat terhadap vaksinasi ini. Tulisan ini akan membahas secara ringkas tentang pandangan agama dalam hal ini Islam terhadap vaksinasi dan imunisasi. Semoga tulisan ini dapat membantu menjernihkan persoalan seputar isu agama dan vaksinasi yang beredar di masyarakat.

    Pandangan Islam terhadap Ilmu Pengetahuan

    Al Qur'an banyak menyebutkan keharusan seorang muslim mengeksporasi alam semesta. Dalam surat Ali Imran 190-191 misalnya disebutkan kriteria ulil albab (cendekiawan), "Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan pergiliran malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi ulil albab. Yaitu orang-orang yang berdzikir kepada Allah sambil berdiri, duduk, dan berbaring dan senantiasa bertafakkur (berpikir mendalam) tentang penciptaan langit dan bumi seraya berkata ya Tuhan kami tidaklah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, peliharalah kami dari siksa neraka."

    Dalam ayat tersebut di atas dan ayat-ayat sejenis yang banyak dijumpai dalam Al Qur"an tampaklah bahwa seorang cendekiawan atau ulil albab itu adalah orang yang mampu melakukan harmonisasi kegiatan dzikir dan fikir. Di dalam Islam tidak terdapat pemisahan antara aktifitas berdzikir dan bertafakkur atau berfikir secara mendalam (deep thinking). Aktifitas berfikir mendalam tentang penciptaan Allah di langit dan bumi akan meningkatkan keimanan seseorang dan menguatkan kegiatan dzikirnya kepada Allah SWT. Jadi ringkasnya Islam sangat menganjurkan ummatnya untuk mengeksplorasi alam semesta ini, baik alam makrokosmos dan mikrokosmosnya. Hasil eksplorasi alam semesta itu ditujukan untuk kebaikan manusia itu sendiri di dunia dan sekaligus untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT.

    Dalam sudut pandang lain kita bisa melihat dari perspektif diturunkannya ilmu Allah kepada manusia. Secara garis besar ilmu Allah ini diturunkan kepada manusia melalui dua jalur.
    Pertama jalur resmi (formal) yaitu ilmu yang diturunkan melalui para Nabi dan Rasul berupa wahyu/firman Allah dan petunjuk nabi. Ilmu tersebut dikenal dengan ilmu qauliyah.
    Yang kedua adalah jalur tidak resmi (non-formal) berupa ilham yang diberikan langsung kepada manusia (apa pun agama dan rasnya) yang mengeksplorasi alam semesta ini sesuai anjuran pada ayat Al Qur'an di atas. Ilmu tersebut dikenal dengan ilmu kauniyah.

    Ilmu qauliyah kebenarannya mutlak, bersifat umum, berfungsi sebagai way of life bagi manusia. Sedangkan ilmu kauniyah kebenarannya relatif, bersifat spesifik, dan untuk melengkapi sarana kehidupan manusia. Kedua macam ilmu tersebut saling terkait dan tidak dapat dipisahkan agar kehidupan manusia harmonis dan seimbang. Gagal memahami persoalan di atas atau menolak salah satunya akan membuat seorang muslim bersikap ekstrim bahkan terjebak ke dalam dikotomi ilmu islam non-islam, ilmu Allah dan ilmu manusia, dan seterusnya.

    Vaksinasi sebagai Salah Satu Ilmu Kauniyah Terbesar Abad Ini

     Diawali dengan tradisi masyarakat muslim Turki pada awal abad-18 yang memiliki kebiasaan menggunakan nanah dari sapi yang menderita penyakit cacar sapi (cowpox) untuk melindungi manusia dari penyakit cacar (smallpox, variola) kemudian tradisi ini dibawa ke Inggris dan diteliti serta dipublikasikan oleh Edward Jenner tahun 1798. Sejak saat itu konsep vaksinasi terus berkembang demikian pesat. Beragam jenis vaksin telah ditemukan selama dua abad. Dan masih akan banyak lagi jenis vaksin yang ditemukan.

    Penelitian untuk membuat vaksin merupakan penelitian yang panjang, sangat memperhatikan aspek keamanan dan keakuratan data. Satu jenis vaksin bisa memerlukan belasan tahun untuk membuatnya. Diawali dengan uji laboratorium, kemudian uji pada hewan coba, relawan, orang dewasa, baru kemudian diterapkan pada bayi dan anak setelah terbukti produk vaksin tersebut aman dipakai. Bila terbukti sebuah vaksin menimbulkan efek simpang atau kejadian ikutan pasca imunisasi (KIPI) yang berat dan fatal maka vaksin akan segera ditarik dari peredaran untuk diteliti ulang. Berbagai prestasi vaksinasi pun telah dapat kita lihat dalam catatan sejarah kemanusiaan. Di antara prestasi terbesar vaksinasi adalah lenyapnya penyakit cacar pada tahun 1979. Inilah salah satu bukti manfaat ilmu kauniyah yang dipelajari manusia (apa pun agama dan rasnya).

    Hasil dari eksplorasi alam semesta di antaranya ilmu tentang vaksin (vaksinologi) telah menghasilkan manfaat yang luar biasa dalam bidang pencegahan penyakit pada manusia (dan juga hewan). Adalah amat keliru bila hasil penelitian selama dua abad itu kemudian ditolak dengan alasan amat sederhana: itu produk buatan manusia. Pendikotomian buatan Allah dan buatan manusia seperti pemahaman sebagian kelompok muslim yang antivaksinasi pada hakikatnya adalah pemahaman yang amat sekuler. Pemahaman yang jauh menyimpang dari intisari ajaran Islam yang sebenarnya. Bila kita memahami dengan baik posisi ilmu kauniyah maupun ilmu qauliyah adalah bersumber dari Allah SWT yang Maha Berilmu, maka tidak perlu lagi terjadi hal seperti di atas.

    Pandangan Islam terhadap Aspek Pencegahan Penyakit

    Islam mengutamakan aspek pencegahan dalam berbagai bidang kehidupan. Sebagai contoh dalam menghadapi kemungkinan timbulnya penyakit menular seksual, Islam dengan tegas melarang ummatnya untuk mendekati zina. Dalam surat al Isra 32 : "Janganlah kamu mendekati zina. Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan keji dan jalan yang buruk." Coba perhatikan, bukan larangan berzina tapi larangan untuk mendekati zina. Suatu aspek preventif yang luar biasa karena jauh lebih mudah menghindari mendekati zina daripada menghindari berzina. Bandingkan dengan program kondomisasi yang akhir-akhir ini ramai dibicarakan masyarakat karena justru memfasilitasi zina secara tidak langsung.

    Panduan terhadap pencegahan penyakit dalam al Qur'an maupun al Hadits (petunjuk Nabi saw) dapat dilihat sebagai berikut:
    • Jagalah lima keadaan sebelum datang lima keadaan, di antaranya: jagalah kesehatanmu sebelum datang masa sakitmu (Hadits).
    • Bila terjadi wabah di suatu tempat, maka penduduk setempat dilarang meninggalkan daerahnya dan orang luar dilarang berkunjung sampai wabah berlalu (Hadits). Inilah konsep isolasi daerah wabah yang sudah diajarkan oleh Nabi SAW sejak dahulu.
    • Mukmin yang kuat lebih disukai Allah SWT daripada mukmin yang lemah (Hadits).
    • “Dan persiapkanlah kekuatan semaksimal mungkin dalam menghadapi musuh-musuhmu...” QS 8:60.
    • Barangsiapa makan tujuh butir kurma Madinah maka ia tidak akan terkena pengaruh sihir atau racun (Hadits).

    Dari beberapa hadits dan ayat Qur'an tersebut di atas kita dapat melihat bahwa Islam sangat menganjurkan aspek pencegahan terhadap penyakit. Karena biaya yang dikeluarkan untuk aspek pencegahan akan jauh lebih murah dibandingkan dengan pengobatan penyakit. Hal ini telah dibuktikan kebenarannya oleh ilmu kedokteran modern. Islam memberi kebebasan dalam hal teknik pencegahan sesuai dengan perkembangan teknologi yang ada saat itu. Islam tidak pernah membatasi kemajuan teknologi, namun hanya memberi batasan atau rambu-rambu yang tidak boleh dilanggar.

    Ini terbukti dengan pernyataan Nabi SAW ketika ada yang bertanya kepada beliau mengenai perkawinan pohon kurma. Saat itu beliau memberi nasehat dan ternyata kurma menjadi tidak berbuah saat dilaksanakan nasehat tersebut. Akhirnya beliau SAW bersabda: Antum a'lamu bi umuri addunyakum artinya kamu lebih mengetahui tentang urusan duniamu.

    Islam hanya mengajarkan rambu-rambu yang bersifat umum dan baku, seperti larangan berobat dengan yang haram, larangan berobat ke dukun atau ahli sihir namun mengenai hal-hal yang bersifat teknis sepenuhnya diserahkan kepada perkembangan ilmu sains sesuai perkembangan zamannya. Dengan prinsip ini tidak heran bahwa para ilmuwan muslim pernah mencapai puncak kejayaannya dalam hal sains tidak berapa lama setelah Nabi SAW wafat.

    Bila ditanyakan adakah dalil dari Al Qur'an atau Hadits Nabi yang spesifik menyebutkan perlunya vaksinasi? Jawabannya tentu tidak ada. Namun tidak adanya dalil qauliyah bukan berarti vaksinasi bertentangan dengan ajaran Nabi SAW. Hal ini adalah karena vaksinasi termasuk ranah kauniyah. Ranah ilmu pengetahuan modern yang diperoleh berdasarkan pencarian oleh manusia. Berdasarkan penelitian yang tekun dan seksama, sebagaimana sudah disebutkan di atas. Oleh karena itu pakar mengenai vaksinasi tentu saja adalah para dokter dan peneliti di bidang vaksinologi, bukan wartawan, sarjana hukum, ahli statistik, atau yang lainnya.

    Pendapat Para Ulama Mengenai Vaksinasi

    Kita perlu tahu bahwa vaksinasi bukan hanya dilaksanakan di Indonesia namun juga dilaksanakan di lebih dari 190 negara di seluruh dunia, termasuk negara-negara muslim. Sampai saat ini tidak pernah terdengar seorang pun dari ulama-ulama di negara-negara muslim itu yang melarang diberikannya vaksinasi kepada bayi dan anak di negaranya. Sebagai contoh Syaikh Abdullah Bin Bazz seorang mufti dari Saudi Arabia membolehkan vaksinasi. DR Yusuf Al Qaradhawy seorang ulama mujtahid yang berdomisili di Qatar pun membolehkan imunisasi. Bahkan beliau banyak menyerahkan masalah ini kepada para dokter yang menguasai ilmu vaksinologi secara mendalam dan kemudian beliau berikan fatwa terhadap apa yang diungkapkan para dokter.

    Kalau para ulama di tingkat internasional saja membolehkan vaksinasi lalu mengapa ada orang yang bukan ulama malah mempermasalahkan bolehnya vaksinasi dalam Islam. Adapun pendapat sebagian kelompok Islam yang mengatakan vaksinasi dilarang dalam Islam karena menggunakan kuman yang disuntikkan ke dalam tubuh sehingga berpotensi membahayakan tubuh, adalah pendapat yang tidak berlandaskan ilmu. Hanya berdasarkan zhan atau prasangka belaka. Padahal Islam melarang umatnya untuk berprasangka, karena sebagian prasangka adalah dosa.

    Saat ini ada sebagian orang yang bukan ahlinya namun seringkali berkomentar mengenai sesuatu yang tidak difahaminya secara mendalam. Hanya berdasarkan bacaan dari internet, bersumber dari tokoh-tokoh fiktif yang tidak pernah ada atau berdasarkan teori konspirasi. Hal ini amat disayangkan karena bertentangan dengan anjuran dan tradisi Islam yang sangat menekankan aspek kejujuran dan obyektifitas ilmiah.

    Salah satu contoh tradisi ilmiah dalam Islam yang tidak ada bandingannya adalah pada proses penyeleksian ketat terhadap hadits hadits nabi. Mungkin orang-orang yang hobi menyadur rumor, berita fiktif, hoax, gosip, khususnya tentang kampanye negatif terhadap vaksinasi perlu meniru tradisi Islam dalam menyeleksi hadits shahih.

    Masalah Enzym Babi dalam Proses Pembuatan Vaksin

    Salah satu persoalan yang sering dipermasalahkan mengenai kehalalan vaksin adalah digunakannya enzym tripsin dari babi selama pembuatan beberapa jenis vaksin tertentu. Seringkali masalahnya ada pada perbedaan persepsi. Sebagian besar orang mengira bahwa proses pembuatan vaksin itu seperti orang membuat puyer. Bahan-bahan yang ada semua dicampur jadi satu, termasuk yang mengandung babi, dan kemudian digerus menjadi vaksin. Hal semacam ini adalah persepsi keliru mengenai proses pembuatan vaksin di era modern ini. Bila prosesnya demikian sudah tentu hukum vaksin menjadi haram. Namun sebenarnya proses pembuatan vaksin di era modern ini amatlah kompleks. Ada beberapa tahapan, dan tidak ada proses seperti menggerus puyer tadi.
     

    Enzym tripsin babi digunakan sebagai katalisator untuk memecah protein menjadi peptida dan asam amino yang menjadi bahan makanan kuman. Kuman tersebut setelah dibiakkan kemudian dilakukan fermentasi dan diambil polisakarida sebagai antigen bahan pembentuk vaksin. Selanjutnya dilakukan proses purifikasi, yang mencapai pengenceran 1/67,5 milyar kali sampai akhirnya terbentuk produk vaksin. Pada hasil akhir proses sama sekali tidak terdapat bahan-bahan yang mengandung babi. Bahkan antigen vaksin ini sama sekali tidak bersinggungan dengan babi baik secara langsung maupun tidak. Dengan demikian isu bahwa vaksin mengandung babi menjadi sangat tidak relevan dan isu semacam itu timbul karena persepsi yang keliru pada tahapan proses pembuatan vaksin. Majelis Ulama Indonesia sudah mengeluarkan fatwa halal terhadap vaksin IPV (Vaksin Polio yang diinjeksi) yang pada proses pembuatannya menggunakan katalisator dari enzym tripsin babi. Hal serupa terjadi pula pada proses pembuatan beberapa vaksin lain yang juga menggunakan tripsin babi sebagai katalisator proses.

    Penutup

    Demikian uraian ringkas mengenai pandangan Islam terhadap vaksinasi. Sebagai dokter kita perlu memahami konteks ini agar dapat berdiskusi dengan pasien yang mempunyai kesalah-pahaman terhadap vaksinasi dengan informasi keliru khususnya yang berkaitan dengan ajaran agama (Islam). Diharapkan dengan diskusi intensif dengan pasien yang masih ragu kita bisa meyakinkan bahwa vaksinasi itu halal dan aman dan tidak ada seorang pun ulama di negara-negara muslim melarang program vaksinasi ini. Semoga kegalauan masyarakat karena isu tidak bertanggungjawab dari para pegiat antivaksinasi bisa terlokalisir bila para dokter juga mampu berdiskusi dengan lebih baik.

    Daftar Kepustakaan

    • Al Qur'an dan terjemahannya. Departemen Agama Republik Indonesia, 1971.
    • Ranuh IGNG, Suyitno H, Hadinegoro SRS, Kartasasmita CB, Ismoedijanto, Soedjatmiko. Buku Pedoman Imunisasi di Indonesia, edisi ke-4. Satgas Imunisasi Ikatan Dokter Anak Indonesia, Jakarta 2011.
    • Al Qaradhawy Y. Halal dan haram dalam Islam. Jakarta, PT Bina Ilmu 1993.
    • Center for Disease Control http://www.cdc.gov http://www.binbaz.org.sa/mat/238 diunduh 1 Juli 2012. Fatwa MUI 4 Sya’ban 1431 H/16 Juli 2010 M. Fatwa no. 06 tahun 2010 tentang penggunaan vaksin meningitis bagi jemaah haji atau umrah.
    • Jenie UA. Obat sebagai produk rekayasa biokimiawi dan rekayasa genetika serta kaitannya dengan masalah kehalalannya. Disampaikan pada Lokakarya dampak RUU Jaminan Produk Halal terhadap obat dan vaksin bagi kesehatan masyarakat. Jakarta, Bidakara, 04 Juni 2012.