Sekitar pukul 19.07 WIB, Bus Executive Putra Remaja yang membawaku kembali ke lampung, Tanah kelahirankupun berhenti di sebuah Rumah makan di Karang anyar. Para penumpangpun turun dari bus untuk memenuhi kebutuhannya masing-masing. Saatnya menjamak sholat kemudian makan, pikirku. Setelah selesai menjamak sholat maghrib dan isya, akupun menuju sebuah rumah makan yang khusus untuk para penumpang bus Putra Remaja. Aku mengambil makan malam secukupnya, kemudian memilih tempat duduk di bagian tengah dari ruangan itu. Beberapa lama kemudian, seorang ibu yang menggendong anaknya memilih duduk dihadapanku, sambil menyapaku ramah “ saya duduk disini ya mbak?”. “oh,ya…silakan…” jawabku sambil tersenyum padanya.
Aku mencoba membuka obrolan ringan dengan bertanya “ tujuannya kemana bu?”. “mau ke merak, mbak. Jenguk adik” katanya. “ mbaknya Kok sendirian aja? Belum menikah ya?” tanyanya padaku. Sebuah pertanyaan retoris pikirku, sehingga aku hanya memberinya senyuman… kami terdiam sesaat sambil menikmati makanan yang ada di piring. Tenggelam dalam pikiran masing-masing.
Selesai makan, aku belum ingin beranjak dari tempat dudukku dan mencari tema obrolan yang cocok untuk kami. Aku melirik ke anaknya. Sekitar umur 1,5 tahun yang terlihat sangat lucu. “anak pertamanya bu? Namanya siapa?” sebuah pertanyaan standar untuk membuka obrolan lagi, sambil kucoba meraih tangan anak yang sudah mulai tersenyum padaku itu.. aah…membuatku ingin menggendongnya. “iya mbak. Anak pertama. Namanya nur. Kami tinggal di magelang, di magelang ikut suami.. aku tersenyum lagi sambil menyapa nur, adik kecil itu.
Masih dengan obrolan ringan kami seputar anak,,hingga kemudian, aku kaget ketika kulihat ibu itu mengeluarkan sebatang rokok dan menyalakannya dengan sebuah korek api. “ astaghfirullah,, ibunya merokok”, pikirku. Makin miris hatiku ketika kulihat asap sudah mulai ada disekeliling anak tak berdosa itu. Spontan saja, aku menawarkan untuk menggendong nur, karena ia terlihat merengek-rengek dan batuk karena asap itu. “ gendong tante, mau? Tante ada pudding. Sambil kita lihat cicak disana……”, tawarku pada nur. Alhamdulillah ia mau.
Kugendong nur sambil kusuapi pudding rasa stroberi yang kubawa dari kos, sengaja kubuat untuk perjalanan ini. kugendong sedikit agak menjauh dari ibunya….ia terlihat begitu menikmatinya sambil terbata-bata mengucapkan beberapa kata yang masih sedikit sulit kumengerti, karena menggunakan bahasa jawa…
Sementara pikiranku terus menerawang…hatiku sedih…miris….sudah berapa banyak racun dari rokok yang masuk ke dalam tubuh tak berdosanya, karena setiap hari ibunya selalu merokok…
Setelah kulihat ibunya selesai merokok, keberikan kembali nur, sambil aku berpamitan karena Bus Putra Remaja sudah akan meneruskan perjalanan.
******************************
Catatan:
Aku bukan ingin membahas terkait bahaya rokok dari sisi kesehatan, atau hukum halal-haramnya rokok yang kontroversi di kalangan masyarakat, karena aku bukan ahlinya. Aku ingin melihatnya dari sudut pandang seorang wanita sekaligus calon ibu (InsyaAllah).
Ibu sebagai Madrasah pertama bagi anak-anaknya
Seorang ibu, memulai mendidik anaknya, bukan saja ketika anaknya telah lahir ke dunia, tetapi sejak masih dalam kandungan. Sebagaimana akhlaknya selalu dijaga dan memberikan yang terbaik bagi bayi dalam kandungannya. Ketika telah lahir, ibu yang secara intens berinteraksi, berkomunikasi dengan “bahasa “ kasih sayang, cinta, dan ketulusan kepada anaknya. Bagaimana mungkin tidak akan berpengaruh negative terhadap akhlak dan pola pikir sang anak, jika sejak dalam kandungan, sang ibu memberi contoh yang demikian (misal merokok, red.)? Bahkan sampai sang anak besar, hal ini akan mendarah daging dalam hatinya. Akhlak yang baik lebih utama daripada hanya mampu menyampaikan kata-kata yang baik. Tanpa memberikan sebuah keteladanan.
Teringat beberapa bulan yang lalu, ketika muncul kontroversi dalam masyarakat karena statement seorang motivator terkemuka “ Seorang wanita perokok dan minum-minuman keras, tidak layak disebut sebagai ibu”. Mari kita menilai sisi positif dari statement tersebut, terlepas dari kontroversi yang ada. Hal ini mengandung nilai “kelayakan” bagi sebuah posisi dan penghargaan yang begitu mulia kepada seorang ibu.
Cinta yang istimewa
…adalah sebuah keistimewaan ketika diperkenankan Allah menjadi seorang ibu,,
Sebuah keistimewaan pula jika jalan jihad yang bernama “malahirkan sang anak” adalah berbuah syurga.
Setiap do’a menjadi kekuatan, setiap senyuman, marah, dan diamnya adalah cinta….
Air mata yang mengalir dalam muhasabah malamnya serta lantunan Al Qur’an dalam rumahnya yang istimewa,,,,adalah sebuah ketenangan..
Itulah cinta yang istimewa yang dikaruniakan-Nya kepada seorang ibu yang mengagumkan…
Subhanallah,,,
bagi teman-temanku yang telah menjadi ibu, akan menjadi ibu, dan calon seorang ibu….mari terus belajar agar layak mendapat posisi yang mulia, yaitu seorang ibu yang sholihah…
Bagi teman-temanku yang telah menjadi bapak, akan menjadi bapak, dan calon seorang bapak… jagalah ibumu, istrimu, saudara serta anak-anak perempuanmu,, karena mereka calon ibu dan karunia yang terbaik sepanjang masa…..
Tulisan ini kudedikasikan untuk ibuku tercinta. Terima kasih telah memberikan madrasah terindah dalam keluarga…. Semoga selalu hadir dalam setiap do’a dan cinta yang istimewa……
Yogyakarta, 21 April 2010
Soraya
Aku mencoba membuka obrolan ringan dengan bertanya “ tujuannya kemana bu?”. “mau ke merak, mbak. Jenguk adik” katanya. “ mbaknya Kok sendirian aja? Belum menikah ya?” tanyanya padaku. Sebuah pertanyaan retoris pikirku, sehingga aku hanya memberinya senyuman… kami terdiam sesaat sambil menikmati makanan yang ada di piring. Tenggelam dalam pikiran masing-masing.
Selesai makan, aku belum ingin beranjak dari tempat dudukku dan mencari tema obrolan yang cocok untuk kami. Aku melirik ke anaknya. Sekitar umur 1,5 tahun yang terlihat sangat lucu. “anak pertamanya bu? Namanya siapa?” sebuah pertanyaan standar untuk membuka obrolan lagi, sambil kucoba meraih tangan anak yang sudah mulai tersenyum padaku itu.. aah…membuatku ingin menggendongnya. “iya mbak. Anak pertama. Namanya nur. Kami tinggal di magelang, di magelang ikut suami.. aku tersenyum lagi sambil menyapa nur, adik kecil itu.
Masih dengan obrolan ringan kami seputar anak,,hingga kemudian, aku kaget ketika kulihat ibu itu mengeluarkan sebatang rokok dan menyalakannya dengan sebuah korek api. “ astaghfirullah,, ibunya merokok”, pikirku. Makin miris hatiku ketika kulihat asap sudah mulai ada disekeliling anak tak berdosa itu. Spontan saja, aku menawarkan untuk menggendong nur, karena ia terlihat merengek-rengek dan batuk karena asap itu. “ gendong tante, mau? Tante ada pudding. Sambil kita lihat cicak disana……”, tawarku pada nur. Alhamdulillah ia mau.
Kugendong nur sambil kusuapi pudding rasa stroberi yang kubawa dari kos, sengaja kubuat untuk perjalanan ini. kugendong sedikit agak menjauh dari ibunya….ia terlihat begitu menikmatinya sambil terbata-bata mengucapkan beberapa kata yang masih sedikit sulit kumengerti, karena menggunakan bahasa jawa…
Sementara pikiranku terus menerawang…hatiku sedih…miris….sudah berapa banyak racun dari rokok yang masuk ke dalam tubuh tak berdosanya, karena setiap hari ibunya selalu merokok…
Setelah kulihat ibunya selesai merokok, keberikan kembali nur, sambil aku berpamitan karena Bus Putra Remaja sudah akan meneruskan perjalanan.
******************************
Catatan:
Aku bukan ingin membahas terkait bahaya rokok dari sisi kesehatan, atau hukum halal-haramnya rokok yang kontroversi di kalangan masyarakat, karena aku bukan ahlinya. Aku ingin melihatnya dari sudut pandang seorang wanita sekaligus calon ibu (InsyaAllah).
Ibu sebagai Madrasah pertama bagi anak-anaknya
Seorang ibu, memulai mendidik anaknya, bukan saja ketika anaknya telah lahir ke dunia, tetapi sejak masih dalam kandungan. Sebagaimana akhlaknya selalu dijaga dan memberikan yang terbaik bagi bayi dalam kandungannya. Ketika telah lahir, ibu yang secara intens berinteraksi, berkomunikasi dengan “bahasa “ kasih sayang, cinta, dan ketulusan kepada anaknya. Bagaimana mungkin tidak akan berpengaruh negative terhadap akhlak dan pola pikir sang anak, jika sejak dalam kandungan, sang ibu memberi contoh yang demikian (misal merokok, red.)? Bahkan sampai sang anak besar, hal ini akan mendarah daging dalam hatinya. Akhlak yang baik lebih utama daripada hanya mampu menyampaikan kata-kata yang baik. Tanpa memberikan sebuah keteladanan.
Teringat beberapa bulan yang lalu, ketika muncul kontroversi dalam masyarakat karena statement seorang motivator terkemuka “ Seorang wanita perokok dan minum-minuman keras, tidak layak disebut sebagai ibu”. Mari kita menilai sisi positif dari statement tersebut, terlepas dari kontroversi yang ada. Hal ini mengandung nilai “kelayakan” bagi sebuah posisi dan penghargaan yang begitu mulia kepada seorang ibu.
Cinta yang istimewa
…adalah sebuah keistimewaan ketika diperkenankan Allah menjadi seorang ibu,,
Sebuah keistimewaan pula jika jalan jihad yang bernama “malahirkan sang anak” adalah berbuah syurga.
Setiap do’a menjadi kekuatan, setiap senyuman, marah, dan diamnya adalah cinta….
Air mata yang mengalir dalam muhasabah malamnya serta lantunan Al Qur’an dalam rumahnya yang istimewa,,,,adalah sebuah ketenangan..
Itulah cinta yang istimewa yang dikaruniakan-Nya kepada seorang ibu yang mengagumkan…
Subhanallah,,,
bagi teman-temanku yang telah menjadi ibu, akan menjadi ibu, dan calon seorang ibu….mari terus belajar agar layak mendapat posisi yang mulia, yaitu seorang ibu yang sholihah…
Bagi teman-temanku yang telah menjadi bapak, akan menjadi bapak, dan calon seorang bapak… jagalah ibumu, istrimu, saudara serta anak-anak perempuanmu,, karena mereka calon ibu dan karunia yang terbaik sepanjang masa…..
Tulisan ini kudedikasikan untuk ibuku tercinta. Terima kasih telah memberikan madrasah terindah dalam keluarga…. Semoga selalu hadir dalam setiap do’a dan cinta yang istimewa……
Yogyakarta, 21 April 2010
Soraya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar